Sabtu, 22 Agustus 2015

Gunung Ungaran : Kesetiakawanan di tengah Kengerian (Part 2)

Aku berusaha berpikir positif. Ini kan 17 Agustus. Banyak orang yang muncak hari ini. Jadi kalaupun ada masalah, cepat atau lambat pasti ada yang menolong. Sekali lagi aku teriak “David, kamu dimana? Aku takut nih” “Ya, masih di bawah” terdengar jawaban dari bawah. Nggak lama kemudian, David diikuti Sinin, dengan terengah-engah datang ke depanku. “Bawain tasmu nih, berat” katanya.
Sebentar, aku tenangkan pikiranku. Lalu kami naik lagi. Makin ke atas, makin curam jalannya. Tingkat kemiringannya bikin aku mau nggak mau harus memanjat. Sampailah kami di sebuah tempat landai. Di situ ada pendaki yang memasang tenda. Kata orang sih, puncak tinggal beberapa menit lagi. Jadi mungkin daerah ini “Arcopodo” nya Gunung Ungaran.
Kami lanjut terus, tapi kondisiku tambah drop. Apalagi lihat jalan ke atas makin miring. Banyak batu yang ukurannya belum pernah kulihat sebelumnya. Rasa lemas akibat lapar dan lelah ditambah kondisi tebing yang gelap betul-betul bikin acrophobiaku kumat. Aku nggak berani lihat ke bawah.
Aku terus berusaha, meski harus merangkak. Tapi sebuah batu besar menghentikan langkahku, aku harus lompat ke atasnya. Kalau teledor, bisa-bisa terjun bebas ke bawah. Nyaliku langsung menciut. “Aku senteri, kamu nggak usah takut” begitu kata David.  Aku coba memanjat, malah badanku hampir merosot lagi. “Berdiri kamu” David menyuruhku. “Nggak bisa, aku takut” sahutku terengah-engah. “Kalau nggak berdiri nggak bisa naik” serunya. Aku mencoba lagi. Susah sekali. Fisik dan mentalku betul-betul sudah drop.
Sinin muncul dari belakang “Kalau udah nggak sanggup, mending kita turun aja, daripada nanti kamu kenapa-kenapa. Kapan-kapan kita bisa naik lagi” “Nggak apa-apa mas?” David keheranan. “Nggak apa-apa, kita turun sekarang aja, nanti bikin tenda di kebun teh” jawab Sinin. “Nanti teman lain gimana mas?” tanyaku. “Biarin aja mereka naik”.
Kami memutuskan turun. Aku merasa nggak enak. Tapi kata Sinin “Kita turun langsung, kalau turun besok pagi nanti kamu lebih takut lihat medan yang sebenarnya” Ya, dia bersama David rela nggak ke puncak demi aku. Aku minta maaf pada mereka, dan mereka menjawab tidak apa-apa. Sungguh setia kawan.
Kami istirahat di tempat tenda tadi. Sebetulnya kami mau pasang tenda di sini. Pemandangannya terlihat bagus. Tapi di tempat itu sudah ada dua tenda. Nggak cukup lagi. Jadi, kami di situ cuma numpang menghangatkan badan dan masak mie sebelum lanjut turun ke bawah.
Udara dingin luar biasa, padahal aku sudah pakai jaket dobel. Pikiran dan badanku tak karuan, jadi makan pun rasanya nggak enak. Mungkin betul kata David, kalau naik gunung kita nggak boleh berpikir negatif. Atau bisa juga aku mulai mengalami hipotermia seperti Arial di film 5 Cm.
Sesudah makan, kami turun lagi. Sesekali kami berpapasan sama pendaki yang naik. Mereka tanya, kenapa kami turun. David dan Sinin menjawab bahwa aku takut ketinggian. Memalukan! Tapi ya, mau gimana lagi? Kenyataannya pas turun. kondisiku bukannya kuat lagi malah makin kacau. Aku susah berjalan tegak, sesekali harus main perosotan di batu. Baju dan celanaku sampai belepotan pasir.
Kejadian selanjutnya, bisa dibilang mengerikan. Tiba-tiba saja pikiranku terasa kosong. Aku berlari nggak tentu arah, lalu rebah. Aku tetap sadar, tapi badanku serasa masuk ke dunia lain. David dan Sinin panik.
“Bert, sadar Bert” teriak David sambil menepuk wajahku. Ia bacakan doa di telingaku. “Aku nggak ingat apa-apa, pikiranku kosong” jeritku. “Kamu jangan ngomong gitu, kamu harus sadar”. Sinin yang panik hampir saja melemparkan ranselnya ke arahku biar aku sadar.
Pendaki lain melihat dengan kasihan. “Mas, nyebut mas, istighfar”. Sambil menangis, David baca doa buat menyadarkanku, aku pun berusaha tanggapi sesuai keyakinanku. “Dalam nama Yesus, Haleluya, Puji Tuhan”. 
Untunglah kuasa Tuhan masih berpihak atasku. Aku kembali ingat waktu dan tempat. “Minum dulu” kata seseorang. Aku pun duduk sebentar, sampai kondisiku stabil. David mengajakku mengobrol berbagai hal biar pikiranku tenang. Aku katakan “Aku nggak kuat lagi, kita sampai Pos 3 aja, aku mau tidur”, yang langsung diiyakan oleh David dan Sinin.
Sesudah itu, kami turun lagi. Buat mencegah pikiran kosong, aku putar lagu dari HPku sambil sesekali menyanyi. Sampai di tempat aku jatuh tadi, aku istirahat sebentar. Tiba-tiba pikiranku kosong lagi. David dan Sinin pun harus susah payah menyadarkanku lagi. Entah karena hipotermia atau memang ada "sesuatu" di daerah itu. Untungnya, nggak separah tadi. Aku terpikir buat lakukan jurus menyadarkan orang pingsan secara manual, yaitu mengoleskan minyak kayu putih ke hidung dan leherku.
Apa yang terjadi padaku betul-betul bikin heboh. Andai di gunung ada sinyal internet, mungkin aku udah jadi trending topic di Twitter para pendaki saat itu. Selangkah demi selangkah dan sesekali melorot, akhirnya kami sampai di Pos 3. Tanpa pikir panjang, kami langsung duduk menyelonjorkan kaki sambil makan bekal roti tawar. Aku lemas, perlu berbaring. Tapi untuk mendirikan tenda di sini? David dan Sinin agak kebingungan karena tempatnya tidak terlalu besar.
Biarpun sudah larut malam, masih banyak pendaki yang menuju puncak. Saat itu ada 3 orang pemuda, mereka dua tiga tahun lebih tua dari kami, beristirahat di dekat kami. Katanya sih mereka juga mau ke puncak tapi udah kemalaman. Dari percakapan basa basi, David dan Sinin menceritakan tentang kondisiku. Salah satu dari mereka menawarkan untuk melakukan terapi untukku. Awalnya aku ragu, terapi apa? Ternyata pijat refleksi. Aku pun mengiyakan.
Maka, orang yang belakangan kuketahui bernama Adi itu mulai memijat kakiku. Ya, namanya pijat refleksi rasanya pasti sakit. Aku berusaha tahan, karena aku tahu Adi dan kedua temannya bermaksud baik. Tidak cuma itu, kedua teman Adi yang malu nyebutin nama itu membantu David dan Sinin memasang tenda. Tempat yang sempit mampu disiasati. Tak berapa lama, tenda undah terpasang, aku pun duduk di dalam tenda sementara Adi melanjutkan memijat kakiku. Katanya sih, dia juga lulusan Teknik Informatika di Semarang (aku lupa nama universitasnya), sekarang dia dan kedua temannya bekerja di pabrik.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah 1 dini hari. Sinin memilih berbaring dengan sleeping bag di samping tenda. Sementara David masih asyik berbincang dengan kedua teman Adi. Malahan, tanpa rasa sungkan, kedua orang itu membuatkan teh hangat untuk kami berenam. Aku betul-betul nggak habis pikir, ternyata pendakian gunung bukan hanya mengakrabkan kami dengan alam, tapi juga dengan orang-orang yang nggak kami kenal sebelumnya. Betul-betul luar biasa.

Sayangnya, kebersamaan kami tidak lama. Waktu seakan berputar cepat. Pukul setengah 3 dini hari, Adi dan kedua temannya pamit. David pun masuk tenda untuk tidur, menyusul aku dan Sinin yang hampir terbuai mimpi. 

Bersambung ke Part 3....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar