Senin, 24 Agustus 2015

Gunung Ungaran : Kesetiakawanan di tengah Kengerian (Part 3 - End)

Biarpun cuma 2 jam, aku tetap bisa tidur. Sesekali terbangun oleh suara pendaki yang istirahat di pos ini. Sampai akhirnya, aku lihat jam tanganku sudah menunjukkan jam setengah 6 pagi. Aku pun keluar dari tenda. Udara dingin tapi sejuk. Kulihat alam yang semalam tampak mengerikan, kini bagai tersenyum ramah di depanku. Pepohonan terlihat hijau berselimut embun pagi. Dan di ufuk timur, matahari terbit kemerahan. Andai saja aku bisa mencapai puncak pasti jauh lebih indah. Ya, cuma andai saja... sekarang nasi udah jadi tiwul... eh salah... jadi bubur.... haha..
David ikut terbangun. Ia berkata padaku “Semalam kejadian tak terlupakan. Tapi udahlah, nggak usah dibahas lagi. Ini ujian buat kita. Kita harus rela, sebagai teman kita harus saling menolong. “ Betul-betul ucapan yang menguatkanku. “Ya, yang sudah terjadi, biarin aja. Maafin aku” sahutku. “Kalau kita masih sama teman-teman yang lain, belum tentu mereka kuat lihat kondisi kamu tadi malam” David melanjutkan.
David membangunkan Sinin. Lalu dia merebus air buat menyeduh kopi. Sambil menunggu, kami asyik kriuk kriuk dengan cemilan yang kami bawa, sampai-sampai nggak tertarik buat bikin mie lagi. 
Lewat dari jam setengah 7, beberapa pendaki lain mulai turun gunung. Kami pun membereskan tenda lalu ikut turun. Aku disuruh berjalan di depan. Ternyata nggak seperti tadi malam, aku bisa berjalan tegak. Kalaupun lewat batu nggak sampai ngesot… hehehe.. Mungkin karena sudah lebih kuat, aku jauh lebih semangat.


Apalagi lewat dari hutan lebat, terpampang pemandangan yang luar biasa indahnya. Hamparan kebun teh di antara perbukitan yang hijau bikin sejuk mata kami yang merah akibat kurang tidur. Di antara pendaki yang sedang turun gunung atau nge-camp, kami bertiga duduk sebentar. Rugi kalau jalan terus, soalnya kesempatan belum tentu datang dua kali. Aku sendiri beberapa kali mengabadikan dengan kamera HPku. Sungguh luar biasa ciptaan Tuhan… kegagalan kami mencapai puncak tergantikan oleh keindahan yang lain.


Matahari mulai naik, kami pun beranjak dari tempat ini, menuju kolam mata air. Di sini jauh lebih ramai, karena banyak pendaki yang istirahat. Sekedar istirahat, karena kolam renang di situ nggak bisa buat berenang. Dan… kami ketemu lagi dengan Adi dan kedua temannya. Dengan cepat kami akrab dalam pembicaraan. Mungkin karena jumlah kami tiga sama tiga. Cukup lama, sampai akhirnya mereka berpamitan untuk turun. Sampai jumpa lagi mas!
Sementara aku, David dan Sinin masih menunggu teman-teman kami. Karena lama banget, akhirnya kami memutuskan turun sampai ke basecamp. David dan Sinin berjalan lebih cepat dariku sampai aku tertinggal jauh. Mungkin mereka sengaja menguji keberanianku… ya, untunglah medan jalan lebih baik daripada di atas tadi. Dengan berjalan hati-hati, aku sampai juga di basecamp dan bertemu lagi dengan David dan Sinin. Puji Tuhan!
Kami bertiga menunggu di tempat teduh. Hari semakin siang. Sebagian besar pendaki yang kami temui di atas sudah pada turun. Bahkan, protokol dan pengibar bendera upacara di puncak sudah sampai di basecamp. Tapi mana teman-teman kami? Nggak boleh dong ninggalin mereka. Kan kami udah belajar setia kawan? 
Kami sempat bertemu dengan rombongan cewek yang kutemui tadi malam. “Eh, ketemu bapaknya lagi”. Bapak lagi, kapan gue kawin sama emak lo. Ingin rasanya aku berkata demikian, tapi aku tahan karena nggak mau merusak kebaikan mereka. Aku balas dengan senyuman aja.”Tapi nggak apa-apa pak, pendaki pemula sampai ke Pos 3 juga sudah hebat kok” kata mereka serius.
Panas matahari makin menyengat. 3 jam lebih kami menunggu. Kali ini David dan Sinin yang terlihat loyo karena kurang tidur. Sementara aku, mulai diserang rasa lapar. Karena bekalku habis, aku berniat ke warung makan beli sesuatu sambil melihat kalau-kalau Atun dan lainnya ada di warung makan.
Tapi belum sampai ke warung makan, terdengar suara Atun “Om.. sini.. om… mana yang lain?” Weladalah, rupanya dari tadi mereka nongkrong beberapa meter di belakang kami. Segera, aku panggil David dan Sinin. Kini kami bersatu kembali (sok puitis..wkwkwk)
Kami saling ceritakan pengalaman kami. Termasuk apa yang kualami semalam. Ternyata mereka pun nggak mempermasalahkan. Malah dengan jenaka, Atun bercerita bahwa semalam dia kelaparan gara-gara bekalnya katut (terbawa) di ranselnya Sinin. Sampai-sampai dia cuma makan Mie Gelas. Nah lo, makanya bawa bekal sendiri dong…
Dengan riang gembira, kami pulang. Tak lupa mampir ke “basecamp” kelompok kami, yaitu rumah Atun. Dan berakhirlah perjalanan penuh tantangan ini. Semoga kelak aku bisa menjejakkan kaki di puncak Ungaran. Amin... 



Ima sempat tanya padaku “Mas, kapok nggak naik gunung?”. Aku jawab “Ya, mungkin aku pikir-pikir dulu”. Jujur, pengalaman ini bikin aku ketagihan. Tapi aku sadar, mendaki gunung itu nggak mudah. Makanya, aku harus pertimbangkan baik-baik. Sebaiknya aku pilih gunung yang medannya nggak terlalu sulit. Dan satu lagi, aku nggak mau lagi mendaki gunung di malam hari!

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar