Rabu, 16 September 2015

Djeladjah Djaloer Spoor Bedono-Ambarawa (with Kota Toea Magelang)

Minggu pagi itu, 13 September 2015 aku pergi ke depan Alfamart di Jalan Pahlawan, Magelang. Bukan mau belanja, tapi ikut acara bertajuk Djeladjah Djaloer Spoor atau kalau dibahasakan sekarang Jelajah Jalur Kereta Api. Event ini diadakan oleh komunitas Kota Toea Magelang, sebuah komunitas pemerhati sejarah dan cagar budaya di Magelang.
Tanpa sengaja, aku termasuk datang paling awal. Baru 3 orang yang datang, termasuk aku. Lewat dari jam 06.10 barulah satu persatu peserta lain datang. Total sekitar 140 orang. Tidak hanya dari Magelang, tapi juga dari Jogja, Purworejo, Parakan, bahkan Solo. Rupanya banyak yang antusias ikut acara ini, bahkan Mas Bagus, sang koordinator mengatakan ini rekor peserta jelajah terbanyak. Memang "menggali sejarah" itu menyenangkan. Selama ini aku cuma dengar cerita orang tua tentang kereta api zaman dulu, termasuk jalur kereta api di Ambarawa yang sudah dinonaktifkan sejak tahun 1976. Biarpun nggak naik keretanya, jalan-jalan di jalurnya aja udah menarik buatku.





Rencananya jelajah kali ini akan melewati rute Bedono-Ambarawa. Start di Stasiun Bedono, trekking. jalan kaki hingga Stasiun Ambarawa. Jaraknya sih kurang lebih 9 km. Untuk jelajah ini, aku nggak bisa ikut sampai selesai karena sorenya ada tugas khusus di gereja. Nanti sampai di Ambarawa aku langsung pulang.
Pukul 07.50 dengan menumpang angkudes (aku gak sempat lihat, jurusan mana), kami berangkat ke Stasiun Bedono. Sepanjang perjalanan, aku dan beberapa peserta asyik bercerita tentang jalur kereta api di Magelang. Rencananya sih jalur itu bakal dihidupkan kembali. Tapi masalahnya, sebagian besar jalur sudah berubah jadi pemukiman. Entah apa yang harus dilakukan PJKA. Membuat jalur baru atau menggusur dengan resiko harus kasih ganti rugi ke warga. Kalau dibuat jalur baru, mungkin lokasinya di Tegalrejo atau sekitar Sungai Elo. Daripada nantinya daerah itu dibuat jalan lingkar seperti di Salatiga, mungkin lebih baik dibuat jalur KA. Selain memajukan transportasi, juga meminimalisir kendaraan pribadi.

Kurang dari satu jam, sampailah kami di stasiun tersebut. Stasiun yang usianya nggak muda lagi tapi masih terawat dan biasa digunakan sebagai pemberhentian terakhir kereta wisata dari Ambarawa. Namun, kabarnya saat ini kereta tersebut sedang "absen" karena renovasi Stasiun Ambarawa. Ada sebuah joke yang mengatakan, stasiun ini punya hubungan dengan grup Warkop, karena mengandung nama “Dono”… hihihihi…
KTM sendiri pernah mengunjungi stasiun ini tahun lalu waktu jelajah jalur Bedono-Candi Umbul sejauh 15 km., sayangnya waktu itu aku nggak ikut.
Di Stasiun Bedono, tidak banyak yang kami lakukan. Malahan sebagian besar dari kami, termasuk aku, sibuk mengantri di toilet. Penjelasan dari Mas Bagus pun tidak banyak yang aku tangkap karena harus menuntaskan “masalah” yang aku tahan sejak tadi …wkwkwkwkwk..

Sesudah foto bersama, kami mulai jalan. Tak jauh dari stasiun, Mas Bagus menunjukkan beberapa hal menarik. Salah satunya rel bergerigi yang fungsinya untuk memperkuat jalan kereta saat menanjak. Rel bergerigi ini membentang dari Stasiun Bedono ke Stasiun Jambu sejauh 5 km. Konon, hanya ada dua daerah pemilik rel bergerigi di Indonesia, yaitu Bedono dan Sawahlunto, Sumatra Barat. Di pinggiran rel juga tercantum tahun pembuatan rel tersebut.

Kami terus berjalan. Udara panas menyengat. Sesekali kami bertemu dengan warga sekitar yang mengangkut kayu atau menjemur biji kopi. Ya, daerah Bedono dan sekitarnya memang daerah perkebunan kopi. Jalan sedikit menurun dengan tebing dan jurang di sisinya. Tapi masih cukup aman karena terdapat rel yang posisinya tepat di atas tanah. Di bawah, terlihat jalan raya Bedono-Jambu. Setiap kali aku naik bus ke Bawen, pasti lewat jalan itu. Jalan yang agak membosankan karena berbelok-belok dan rawan kemacetan.

Menariknya, jelajah kali ini diikuti oleh dua orang turis asal Jerman. Namanya Peter dan Erisa. Mereka dikawal oleh Mbak Ayu dan seorang kawannya sebagai penerjemah. Peter adalah orang asli Jerman, sementara Erisa orang Vietnam, tapi sudah menjadi warga negara Jerman. Sebagai pasangan, tak jarang mereka terlihat bergandengan mesra. Hal unik lainnya, kalau sebagian besar peserta memakai jaket atau kaos lengan panjang karena takut item, mereka dengan pedenya pakai kaos tanpa lengan. Ya, mungkin begitulah pakaian musim panas di negara mereka. Aku sendiri memilih melepas jaketku, bukan karena mau ikut-ikutan mereka, tapi karena gerah.



Lewat dari Bedono, masuklah kami ke area persawahan. Ada kejadian lucu saat tiba-tiba Erisa memanggilku, minta tolong difotokan “Can you help me to take a picture?”. Mbak Ayu pun menegaskan “Nyuwun tulung foto nggih mas”. Penggunaan dua bahasa ini bikin aku senyum-senyum. Mungkin kalau aku bisa bahasa Mandarin seperti papaku, aku bakal jawab “Hao ba, wo lai bang ni”...hihihi.. Dengan sedikit gugup, aku menyanggupi permintaa mereka. Begitu selesai, kembali ada dua bahasa terima kasih “Thank you” dan “Matur nuwun”. Bingung mau jawab apa, aku hanya berkata “Ya” sambil tertawa. Mau tahu kenapa aku gugup? Takut salah ngomong! Kemampuanku berbahasa kromo inggil itu sama dengan kemampuanku berbahasa Inggris, bisa tapi tidak lancar ngomongnya.
Tak jauh dari situ, ada jembatan bernama Kethekan, entah bagaimana sejarahnya bisa dinamai begitu. Kami istirahat sebentar di “kolong jembatan” sambil menunggu rombongan di belakang kami. Aku pun menyempatkan diri makan roti dan gorengan yang kubawa. Peter menawariku kue. “Thank you”, aku mengambil satu. Dan dia tertawa, mungkin menertawakan kegugupanku.
Tak lama, kami jalan lagi. Rel kereta mulai melintasi sungai, tapi beruntung ada jembatan batu dan bambu yang siap mengamankan, biarpun agak deg-degan juga lewatnya. Sampai di Stasiun Jambu, tempat kami istirahat berikutnya. Stasiun ini lebih kecil dari Stasiun Bedono tapi kondisinya juga masih terawat. Bahkan ada teras yang cukup luas, yang kata Mas Bagus bisa jadi tempat catwalk.. hahahaha..


Sambil menikmati semangka yang disajikan, aku melihat-lihat sekitar. Pemandangan di sini luar biasa indahnya. Sawah yang hijau membentang. Di kejauhan nampak Gunung Andong dan Merbabu. Seperti moto hidupku kalau lagi wisata, “segala yang indah tidak boleh dilewatkan”, aku pun berusaha memotret pemandangan dengan kamera HPku biarpun batere udah low bat.

“Can you help me to take a picture?” kembali Erisa memanggilku. “Yes”, aku mendekat. “Press this button” dia menunjukkan tombol kameranya. Okay, one..two…three.. kali ini aku sukses memotret mereka tanpa rasa gugup. Biar sepele, cukup jadi pelajaran biar nggak grogi ketemu bule..
Karena sudah siang, kami nggak lama di situ. Jalan lagi 4 km. ke Stasiun atau disebut juga Museum Kereta Api Ambarawa. Kali ini aku berusaha jalan lebih cepat dari yang lain, tapi tentunya nggak secepat lokomotif. Jalannya lebih datar karena dekat pemukiman. Tapi inilah dunia, yang datar nggak selalu aman. Terhitung tiga kali kami harus meniti rel yang posisinya tepat di atas sungai atau jalan. Minta ampun ngerinya. Apalagi kami harus lompat-lompat karena jarak antara titian satu dan berikutnya agak jauh. Salah langkah bisa goodbye. Dan seperti biasa, acrophobiaku kumat. Baru dua tiga titian aku udah nggak berani. Untungnya, ada mas-mas di belakangku yang bersedia menggandengku… ahahahaha… Tapi nggak cuma aku yang takut, mbak-mbak di depanku juga jalannya hampir merangkak karena takut jatuh…
Mendekati Stasiun Ambarawa, angin sejuk bertiup di persawahan, bikin moodku yang sempat gemetar jadi segar lagi….fiuuuuh…. jadi ingat pengalaman mendaki Gunung Ungaran beberapa waktu lalu.

The last, jam 13.00 tiba di Stasiun Ambarawa. Lumayan ramai karena hari Minggu. Dan, seperti kukatakan di awal, aku nggak bisa lanjut masuk ke museum. Aku hanya sempat memotret gerbong yang di depan. Tapi nggak terlihat gerbong kayu yang dulu ada di Stasiun Kebonpolo, mungkin ada di dalam. Memang sayang, aku nggak sempat menyaksikan “koleksi” gerbong kereta dari zaman ortu dan kakek nenekku, mungkin lain kali aku bisa solo travelling ke sini.

Aku pamitan pada Mas Bagus dan beberapa kawan lain, termasuk mas-mas dan mbak-mbak yang bersamaku sejak lewat titian rel tadi. Tak lupa kuucapkan terima kasih karena telah menolongku. Sampai jumpa kawan-kawan!

NB : Terima kasih buat Pak Widoyoko atas beberapa fotonya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar