Minggu, 27 Maret 2016

Lagu Masa Lalu (8) : Terang Bulan


Terang bulan, terang bulan di kali
Buaya timbul disangkalah mati
Jangan percaya mulutnya lelaki
Berani sumpah tapi takut mati
                        
Jujur aja, aku kurang setuju dengan dua baris terakhir lagu ini. Masalahnya, zaman sekarang bukan cuma lelaki, perempuan juga banyak yang nggak bisa dipegang ucapannya! Tapi udahlah, bukan saatnya ngomongin itu, lagian aku sendiri juga nggak selalu bisa dipercaya kok…. hehehe… tapi tulisanku di sini bukan asal-asalan lho ya….
Kalau kita perhatikan, lirik lagu di atas adalah sebuah syair. Dahulu kala, syair memang merupakan sebuah karya sastra pendek dengan makna tertentu dan bunyi yang hampir sama setiap baitnya (bersajak a-a-a-a).
Pada akhir decade 1930-an, lagu ciptaan Saiful Bahri  ini melejit seiring berkembangnya musik keroncong di Indonesia, yang waktu itu masih bernama Hindia Belanda. Banyak musisi dan penyanyi suka dengan lagu ini, sampai-sampai dibuat filmnya pada tahun 1937. Lagu ini juga terkenal sampai ke negeri Belanda. Beberapa penyanyi Belanda membawakannya, baik dengan bahasa Belanda, bahasa Indonesia atau bahasa campuran. Ada Rudy van Dalm, Wieteke van Dort hingga Zangeres Zonder Naam. Liriknya pun digubah dalam berbagai versi, tapi tetap dengan tema dan ritme yang sama. 


Zangeres Zonder Naam membawakan "Terang Bulan"  (Sumber : You Tube)
Tidak diketahui pasti bagaimana melodi lagu ini sama dengan lagu kebangsaan Malaysia, “Negaraku”. Beberapa sumber mengatakan, Presiden Soekarno pernah menghadiahkan piringan hitam lagu “Terang Bulan” kepada pemerintah Malaysia. Polemik “Terang Bulan” kembali mencuat di tahun 2009, ketika perusahaan rekaman Lokananta Records mengeluarkan anggapan bahwa irama “Negaraku” menjiplak “Terang Bulan”.
Tapi orang Malaysia sendiri malah membantah, dengan mengatakan bahwa “Negaraku” diadopsi dari lagu daerah Perak, Malaysia. Ada juga yang “menyerang” dengan mengingatkan bahwa “Terang Bulan” sendiri juga menjiplak “La Rosalie”, sebuah lagu berbahasa Prancis. ‘La Rosalie” sendiri diciptakan pada abad ke-19 oleh Pierre Jean de Beranger di Kepulauan Seychelles, yang kala itu menjadi koloni Prancis.
Ternyata beginilah sejarahnya, “La Rosalie” pada zamannya begitu populer sampai ke Asia. Dan pada tahun 1888, Kesultanan Perak, yang waktu itu masih di bawah jajahan Inggris, menggunakan lagu ini sebagai lagu kebangsaan Perak dengan judul “Allah Lanjutkan Usia Sultan”. Pada akhir tahun 1930-an, barulah  “La Rosalie” masuk ke Indonesia dan diadaptasi menjadi “Terang Bulan” oleh pencipta lagu Saiful Bahri. Jadi? Ya, kita tidak bisa menyalahkan siapa pun, karena semua bersumber dari  kepopuleran “La Rosalie”.

Link video
https://www.youtube.com/watch?v=z9-rHPlDEQk

Selasa, 22 Maret 2016

Solo Travelling (7) : Suatu Hari di Kota Tua Semarang

Jakarta punya kota tua, tapi buat orang Jawa Tengah nggak perlu jauh-jauh ke sana. Karena Semarang juga punya. Komplek bangunan tua dengan arsitektur kolonial di utara Semarang akan membawa kita seolah berada di pemukiman abad ke 19.

Jembatan Kota Tua
Sebuah jembatan, tak jauh dari Stasiun Tawang, adalah “gerbang” dari kota tua Semarang. Begitu sampai di sana, aku langsung disambut sebuah gedung besar mirip istana. Pilar-pilarnya masih kokoh,dengan terali yang sekaligus berfungsi sebagai jendela. Itulah gedung yang sekarang dipakai sebagai Bank Mandiri. Ya, sebagian bangunan di kota tua memang sudah beralih fungsi, tanpa mengubah bentuk aslinya.
Bawah jembatan adalah sebuah sungai, yang mengingatkanku pada Sungai Thames di depan Istana Buckingham. Sayang banget, sungainya sangat-sangat kotor akibat sampah dan limbah. Airnya kehitaman. Baunya jauh dari harum (ya iyalah..). Selain itu di daerah ini juga sering terjadi rob. Rob di sini bukan nama panggilanku lho, tapi air pasang dari laut. Kalau hujan deras, daerah Semarang Utara udah kayak laut, saking dahsyatnya genangan air. Untunglah, siang itu cuaca cerah.

 Bank Mandiri


 PT Djakarta Lloyd
Di sebelah gedung Bank Mandiri, ada gedung PT Djakarta Lloyd, perusahaan maskapai pelayaran. Salah satu adegan film “Soekarno” syutingnya di sini lho!  Sebelah kirinya, gedung PT Pelni, yang masih dipakai, terbukti masih ada jadwal lengkap kapal penumpang ke luar pulau Jawa.
Kurang puas kalau di sini aja, aku pun menjelajahi lorong kota tua. Beberapa orang muda mudi asyik selfie di depan pintu besar yang jadi ciri khas bangunan kolonial. Bagus banget deh kalau nanti diedit pakai efek jadul, serasa bangsawan abad 19… hihihi…
Seperti yang udah sering kubaca di berbagai blog dan artikel, beberapa bangunan tua di sini kurang terawat. Seolah-olah mereka tinggal menunggu waktu saja. Banyak yang catnya sudah mengelupas, atap yang keropos, tembok yang menghitam karena air hujan. Dan lebih ngenes lagi…. vandalisme di sana-sini.. Malah kabarnya, ada bangunan yang mulai roboh. Menyedihkan sekali….

Bangunan tua yang merana
Vandalisme, bukti tidak menghargai warisan sejarah

Beberapa gedung di sini yang lebih terawat, dijadikan gudang oleh perusahaan. Ada sebuah gedung, yang namanya nggak terlalu jelas, karena beberapa hurufnya udah hilang. Searching di google, nama lengkapnya Roode Driehoek, nggak tahu gedung apa, mungkin sebuah pabrik atau perusahaan zaman dulu.
Aku terus menjeprat jepretkan kameraku. Sesuai sloganku “segala yang indah tidak boleh dilewatkan”, aku berusaha memotret bangunan tua, apapun keadaannya. Bolak balik cari spot yang pas, biarpun kadang harus melompati got yang airnya… ya seperti itulah….

Roode Driehoek

Gudang perusahaan
Dinding yang lapuk dimakan usia
Nggak jarang juga, aku dibikin kesal kalau pas memotret ada motor atau mobil lewat….bangunannya jadi ketutupan…. huh…. Mungkin karena hari Minggu, daerah ini ramai banget. Tapi aku nggak bisa nyalahin mereka juga sih, namanya orang lewat. Sempat juga terjadi tabrakan dua motor, untung pengendaranya cuma luka ringan. Banyak orang berkerumun. Aku paling malas lihat orang bertengkar karena tabrakan (bikin ikutan emosi), so, aku buru-buru menjauh.
Tiang lampu tua


PT Telkom

Resto Ikan Bakar Cianjur
Berbelok ke Jalan Letjen Suprapto, sebagian bangunan tua di sini jauh lebih terawat. Ada gedung PT Telkom, Bank NISP, PT Jiwasraya dan Restoran Ikan Bakar Cianjur. Tiang lampu kuno juga masih berdiri tegak, entah lampunya masih bisa nyala atau nggak. Mengagumkan sekali, sampai-sampai aku nggak peduli dengan udara panas yang menyengat. Sampai akhirnya kutemukan sebuah bangunan berkubah besar, mirip kubah masjid dengan beberapa menara. Bagian pintu masuk punya beberapa pilar, mirip Museum Nasional di Jakarta. Yup, inilah Gereja Blenduk. Disebut “blenduk”, karena kubahnya lumayan besar.

Gereja Blenduk nan eksotis
Wah, rugi besar kalau dilewatkan! Di antara kendaraan yang lalu lalang, aku berusaha memotret “gereja tua” ini. Gereja ini sekarang bernama GPIB Imanuel. Karena hari Minggu, sedang ada kebaktian, jadi aku nggak bisa masuk sembarangan.
Sayup-sayup terdengar lantunan lagu rohani. Gedung gereja ini punya peredam suara yang kuat, jadi keramaian kota Semarang nggak mengganggu khusuknya kebaktian. Aku bayangin, kalau aku datang lebih pagi, lalu ikut kebaktian di sini pasti asyik banget.

Gedung Marba, berasa di Eropa 
Gedung Marba yang legendaris terletak di seberang gereja. Marba adalah singkatan dari Marta Badjunet, nama sang pendiri. Masih cukup bagus, biarpun dindingnya agak kusam. Gedung ini dulunya kantor pelayaran dan supermarket zaman Belanda. Sekarang dipakai sebagai gudang, sedangkan  bagian samping disewa oleh warung makan. Dilihat dari kejauhan, nuansa Eropanya terasa banget.

Spiegel, cagar budaya yang kini jadi kafe
Sedangkan di seberangnya, gedung Spiegel, bekas toko mebel yang sekarang disulap jadi kafe semacam Starbucks. Konon, gedung ini juga mangkrak, tapi ada investor yang mau merenovasinya.. Kini jauh lebih terawat, malahan sudah ditetapkan jadi bangunan cagar budaya oleh Pemkot Semarang.  Aku heran, kalau Spiegel dirawat sedemikian rupa, kenapa bangunan-bangunan yang lapuk tadi tidak menjadi cagar budaya juga ya? Nilai sejarahnya pasti ada juga kan? Atau ada sebab tertentu? Entahlah…
Karena lapar, sekaligus karena ingin tahu rasanya sensasi makan di gedung tua, aku mampir di warung makan samping gedung Marba. Siang itu pengunjungnya cuma aku sendiri. Nasi goreng telur dan es teh pun segera bikin perutku kenyang, siap jalan-jalan lagi.
Aku putuskan mengitari bagian belakang gereja Blenduk. Lewat pastori belakang gereja, sedang ada kebaktian sekolah minggu. Meskipun bangunannya sederhana, tapi semua anak sangat menikmati ibadah. Bahkan taman di depan gereja ibarat alun-alun kota, orang-orang dari kalangan mana pun bebas duduk-duduk, sekedar cari angin atau menikmati kuliner. Belum lagi, pasar kriya Padang Rani, yang menjajakan aneka barang seperti hiasan dinding, patung dan kerajinan keramik. Betul-betul bangunan cagar budaya ini tidak sekedar bernilai sejarah, tapi juga menjadi sarana berkat buat banyak orang.

Pasar kriya Padang Rani
Sambil jalan pulang, aku belok ke Jalan Garuda. Banyak juga bangunan tua di sini, kebanyakan jadi gudang perusahaan, salah satunya milik Dinas Pendidikan Provinsi Jateng.
Hei… apa itu? Ada beberapa orang berdiri di depan sebuah gedung. Dua orang kameramen dengan peralatan shootingnya, seorang ibu yang berperan sebagai “sutradara” dan sepasang muda mudi yang berpose bergandengan tangan di depan pintu besar, lengkap dengan vespa di depannya. Nggak salah lagi, keeksotisan kota tua memang pas banget buat foto pre wedding. Duh… jadi pengin…. hehehehe… Oh ya, film “Gie” dan “Ayat Ayat Cinta” juga syuting di kota tua ini lho!

Spot yang bagus buat pre wedding
Aku jalan terus sampai sebelah kanan gedung Bank Mandiri. Tanpa sadar, aku masuk ke Pasar Johar bagian tenggara. Nggak jauh dari situ, ada juga beberapa bangunan tua, tapi karena hari makin panas, aku stop perjalananku sampai sini. Segera aku balik lagi ke jembatan tadi buat naik angkot ke Terboyo.


Kota tua… benar-benar sebuah memorial… 

Senin, 14 Maret 2016

Fajar Bagaikan Senja, Tatkala Sang Gerhana Tiba

Beberapa hari lalu, pembicaraan orang-orang berpusat pada satu hal, gerhana. Atau lebih lengkapnya gerhana matahari. Menurut pelajaran IPA waktu SD, gerhana matahari adalah gejala alam dimana cahaya matahari yang masuk ke bumi terhalang oleh bulan. Bisa dibayangkan, matahari, bulan dan bumi berada dalam satu garis lurus. Karena bulan lebih kecil dari bumi, cuma daerah yang tertutup bulan yang mengalami gerhana. Dan kebetulan sekali, 9 Maret 2016, Indonesia dapat “giliran”.
Sebetulnya, gerhana matahari kali ini nggak akan melewati seluruh Indonesia, cuma daerah sekitar khatulistiwa, seperti Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi. Tapi bukan berarti daerah lain nggak “kebagian”. Pulau Jawa dan sekitarnya tetap mengalami gerhana matahari sebagian.
Hadirnya gerhana matahari ini bikin banyak orang, penasaran. Banyak yang berbondong-bondong ke daerah lain, seolah gerhana itu pembawa keberuntungan. Aku yakin seyakin-yakinnya, seandainya gerhana itu bisa dan boleh dilihat dengan mata telanjang, pasti orang pada ngantri selfie! Maklum lah peristiwa langka, belum tentu seumur hidup bisa lihat lebih dari sekali. Aku sendiri penginnya ke tempat adikku di Palembang. Tapi berapa biaya buat perjalanan dan makan? Kalau nekat, bisa jatuh miskin aku.
Pulau Jawa sendiri pernah mengalami gerhana matahari total tanggal 11 Juni 1983, waktu itu aku belum lahir. Kata orang tua, waktu itu sekitar jam 11 siang, tiba-tiba langit berubah gelap selama beberapa menit. Jalan langsung berubah sepi. Lampu juga dinyalakan. Bahkan, lucunya, kelelawar keluar dari sarang karena mengira sudah malam!
Ngomong-ngomong soal gerhana matahari 1983, aku punya pemikiran “gila”. 11 Juni 1983 itu kan tepat 6 tahun sebelum aku lahir. Dan umur ayahku saat itu 27 tahun, sama dengan umurku saat ini. Apakah ini berarti anak pertamaku akan lahir 9 Maret 2022? Just wait and see…. Hehehe…
Udah deh, sekarang pengalamanku. Sekitar jam 06.30 aku bangun. Hal yang pertama kucari adalah HPku. Nggak seperti biasanya, aku berdiri dulu di loteng rumah dan memandang ke langit. Aku nggak peduli soal melihat gerhana bisa bikin buta dan lain-lain, yang penting sekarang aku mau lihat!
Oh… perkiraanku salah, saat itu matahari tetap terbit seperti biasa. Mungkin orang bakal bilang, ya iyalah, siapa juga yang bilang gerhananya di Jawa? Tapi aku nggak patah semangat. Apalagi lama kelamaan cahaya matahari mulai redup.
Aku putuskan mandi dulu sebelum kembali lagi ke loteng. Kata mbah google, puncak gerhananya jam 07.23 WIB. Nah, sekarang kan jam 07.19. Ayo cepat! Aku arahkan kamera. Matahari tetap bercahaya walau redup. Ada lekukan yang mengelilinginya. Itu dia gerhananya! Langit yang redup bikin suasana mirip jam 4 sore, biarpun aslinya masih jam setengah 8 pagi.


Seakan belum puas, aku keluar rumah. Kebetulan juga aku disuruh papaku ke pasar. So, di jalan bisa lihat suasana gerhana. Hah? Seakan nggak percaya, jalanan kota Magelang betul-betul sepi! Kontras dengan suasana Makassar dan Palembang yang kulihat di TV. Pedagang di pasar banyak yang libur, kendaraan juga nggak sebanyak hari biasa. Kalau kamu pernah lihat sepinya jalan kota saat Lebaran, ya 11-12 lah. 



Rupanya kondisi sepi itu karena ada sebagian orang yang takut keluar rumah! Banyak yang takut jadi buta karena lihat gerhana! Ya, apalagi kalau ingat pengalaman GMT 1983, pemerintah menginstruksikan masyarakat agar hati-hati dalam melihat gerhana, jangan terlalu lama dan gunakan alat bantu. Tapi masyarakat yang saat itu masih tradisional salah paham, malah gerhana dianggap sesuatu yang menakutkan. Ampun deh… fenomena alam langka begini dinilai negatif. Yang bikin aku makin gemes, ada juga yang mengaitkan gerhana dengan kiamat! Hah? Apa-apaan?
Biarpun nggak lihat GMT , aku beruntung banget, adikku yang saat ini kerja di Palembang mengirimi foto gerhana. Di Palembang sendiri, masyarakatnya antusias banget. Ini dia:





Nah, kabarnya, GMT di Indonesia terjadi lagi tanggal 20 April 2023. Tapi cuma Maluku Utara dan sebagian Papua yang bakal menyaksikan saat itu. Jadi, buat kamu yang belum sempat lihat gerhana matahari total, menabunglah dari sekarang, and see you later in Papua! Wkwkwkwkwk. 

Minggu, 13 Maret 2016

Penyanyi Masa Lalu (5) : Jim Reeves

Adios amigo, adios my friend
The road we have travelled has come to an end
When two love the same love, 

one love has to lose
And it's you who she longs for, 

it's you she will choose

Adios compadre, what must be must be
Remember to name one muchacho for me
I ride to the Rio, where my life I will spend
Adios amigo, adios my friend

Adios compadre, let us shed no tears
May all your mañanas bring joy through the years
Away from these memories, my life I must spend
Adios amigo, adios my friend


Pernahkah kalian dengar lagu jadul dengan suara pria yang terkesan “berat” tapi merdu? Yup, kemungkinan besar dialah Jim Reeves. Pria asal Amerika Serikat ini memang terkenal sebagai penyanyi country antara tahun 1950-an hingga 1960-an.
Bernama lengkap James Travis Reeves,  lahir di Galloway, Texas pada tanggal 20 Agustus 1923. Semasa muda, bisa dibilang ia mengalami “blessing in disguise”, alias. “berkat dalam masalah”.  Ia pernah bercita-cita menjadi tentara, namun ditolak karena menderita lemah jantung. Pernah juga ingin menjadi atlet baseball, namun akhirnya gagal karena cedera kaki. Sejak itu, ia beralih menjadi penyiar radio. Tak disangka, ini menjadi awal karirnya sebagai penyanyi. Jim menyukai lagu country karena terinspirasi oleh suara Jimmie Rodgers yang pernah didengarnya sewaktu kecil. Ia sempat bergabung dengan band Moon Mullican, sebelum akhirnya bersolo karir.
Bukan kebetulan, Jim menjadi bintang tamu pada acara Louisiana Hayrides tahun 1952. Banyak orang terpikat oleh suara Jim, hingga dia bergabung dengan Abott Records untuk memulai rekaman. Tidak perlu waktu lama untuk jadi nomor satu.  Nama Jim Reeves menjulang saat lagu “Mexican Joe” yang dibawakannya masuk urutan teratas di US Music Chart. Hits lainnya tak kalah terkenal, “He’ll Have To Go”,  “Bimbo”, "Adios Amigo", "Danny Boy", "I Love You Because" hingga “Welcome To My World”. Kebanyakan lagu-lagu itu berirama country klasik, terdengar mendayu-dayu tapi merdu. Durasinya tidak terlalu panjang, sehingga membuat orang yang terkesan ingin mendengarkannya lagi. Untuk menunjang karirnya, ia bekerja sama dengan beberapa musisi, seperti Cindy Walker, Ray Baker, Bobby Garett dan Horace Logan.

  Sepanjang hidupnya, Jim telah merekam sekitar 444 lagu. Ia tidak hanya terkenal di Amerika Serikat, tapi juga di Afrika Selatan, Inggris, Irlandia sampai ke Skandinavia. Lewat tur internasional, ia punya banyak penggemar di lima benua. Sudah tak terhitung penghargaan gold, platinum bahkan diamond yang didapatnya. Kesuksesan tidak membuat Jim lupa dengan hal rohani, ia sempat membuat album lagu Natal pada 1963. Ia juga menghasilkan beberapa lagu rohani, seperti “I’d Rather Have Jesus”, “Have Thine Own Way, Lord” dan “Take My Hand, Precious Lord” Satu hal inspiratif yang patut dicatat, sejak karirnya melambung, Jim berhenti merokok karena takut berpengaruh pada suaranya.

  Jim juga mahir mengemudikan pesawat terbang. Tak jarang ia mengemudikan pesawat sendiri untuk keperluan show, bisnis atau bepergian. Sayang, kemampuan inilah yang mengakhiri hidupnya. Pada 31 Juli 1964, ketika pulang dari perjalanan bisnis real estate di Batesville, Arkansas, pesawat yang dikemudikannya jatuh di Nashville, Tennessee. Selain menewaskan Jim, kecelakaan ini juga merenggut nyawa Dean Manuel, manajernya. Tak hanya meninggalkan sang istri, Mary White, Jim juga meninggalkan sejumlah kontrak rekaman yang tak akan pernah terlaksana. Padahal saat itu hitsnya “I Love You Because” dan “Welcome To My World”, tengah populer.
Sampai saat ini, nama Jim Reeves masih dikenang. Album kompilasinya tetap dirilis oleh beberapa perusahaan rekaman, bahkan pada tahun 1999, masih mendapat penghargaan gold di Denmark. Meski sudah lama tiada, namanya melegenda. Ya, tidak lain karena suara merdunya.

Link video
https://www.youtube.com/watch?v=ucvcoWMFmW8

Senin, 07 Maret 2016

Lagu Masa Lalu (7) : Tie A Yellow Ribbon Round The Old Oak Tree


I'm comin' home, I've done my time
Now I've got to know what is and isn't mine
If you received my letter telling you I'd soon be free
Then you'll know just what to do
If you still want me, if you still want me

Whoa, tie a yellow ribbon round the ole oak tree
It's been three long years, do you still want me?
If I don't see a ribbon round the ole oak tree
I'll stay on the bus, forget about us, put the blame on me
If I don't see a yellow ribbon round the ole oak tree



Bus driver, please look for me
'Cause I couldn't bear to see what I might see
I'm really still in prison and my love, she holds the key
A simple yellow ribbon's what I need to set me free
And I wrote and told her please

Whoa, tie a yellow ribbon round the ole oak tree
It's been three long years, do you still want me?
If I don't see a ribbon round the ole oak tree
I'll stay on the bus, forget about us, 
put the blame on me
If I don't see a yellow ribbon 

round the ole oak tree

Now the whole damned bus is cheerin'
And I can't believe I see
A hundred yellow ribbons round the ole oak tree
I'm comin' home

Tie a ribbon round the ole oak tree
Tie a ribbon round the ole oak tree
Tie a ribbon round the ole oak tree



Suatu masa, ada seorang pria yang meninggalkan istri dan anak-anaknya demi mengejar kesenangan hidupnya. Dia terlibat pergaulan bebas dan akhirnya melakukan kejahatan yang membuatnya dipenjara. Setelah beberapa tahun, dia sangat menyesal dan rindu pada keluarganya. Dia ingin kembali, tapi ragu, apa keluarganya mau menerima dia lagi?
Akhirnya, pria itu nekat pulang. Tapi sebelumnya, dia menulis surat, kalau istrinya mau menerima dia lagi , dia minta satu tanda berupa pita kuning yang dililitkan ke pohon ek. Selanjutnya, dia pulang naik bus. Di tengah perjalanan, dia ceritakan kegalauannya ke sopir bus.
Tak disangka, sopir bus dan penumpang lain bersimpati padanya. Tanpa peduli, bus itu menuju ke mana, mereka pun sepakat mengantarkan si pria ke tempat asalnya. Dan, apa yang terjadi? Bukan cuma satu pita kuning di pohon ek, tapi seratus! Sang istri punya hati yang lapang, mau menerima suaminya yang dulu pernah meninggalkannya.
Cerita di atas adalah rekaan berdasarkan lagu ini. Banyak orang mengartikan lagu ini seperti cerita itu. Tapi ada juga bilang makna lagu ini sebenarnya adalah seorang suami yang baru pulang dari medan perang. Perang Vietnam memang terjadi saat lagu ini tercipta (tahun 1973), dan pita kuning adalah symbol “penyambutan”. Versi lain lagi menganggap, tema lagu ini mengingatkan pada perumpamaan “anak yang hilang” dalam Alkitab. Memang , pandangan orang tentang lagu ini beda-beda.
Yang jelas menurut penciptanya, Irwin Levine dan Russell Brown, lagu ini terinspirasi dari sebuah cerita rakyat tentang seorang tahanan perang yang berkirim surat pada pacarnya.
Lagu ini pertama kali dibawakan oleh grup vokal Tony Orlando and Dawn, yang kemudian menjadi hits laris di Amerika Serikat. Selanjutnya, lagu ini dicover oleh banyak penyanyi, bahkan sampai sekarang. Meskipun temanya “sedih”, lagu ini diaransemen dengan irama country yang lumayan riang. Asyik banget buat didengerin. 

Ini link videonya:

Rabu, 02 Maret 2016

Solo Travelling (6) : Muter-muter Temanggung

Berwisata itu nggak harus ke gunung, pantai atau museum. Jalan-jalan keliling kota juga wisata, lihat bangunan bersejarah juga wisata, cari kue di pasar juga wisata.
Itulah yang jadi pemikiranku. Negeri ini luas, jadi nikmati apa yang ada. Begitulah, untuk mengisi waktu luang, di tengah perjuanganku mencari kerja yang nggak dapet-dapet, jalan-jalan adalah hobiku. Aku nekat jalan-jalan ke kota Temanggung, biarpun aku tahu, sulit menemukan “something special” di sana, kecuali aku melangkah lebih jauh ke Kledung atau Pikatan. Tapi ya, berhubung waktu dan budget terbatas, aku ambil apa yang ada aja.
Temanggung, yang punya slogan Bersenyum (Bersih, Sehat dan Nyaman untuk Umum) ini adalah kota kecil, biarpun begitu keramaian pusat kota tetap ada. Maklum saja, dengan kendaraan yang makin hari makin padat, bukan cuma di sini, di kota mana pun musti hati-hati buat melangkah. Salah satu yang perlu diwaspadai penyeberang jalan adalah lampu merah yang bertuliskan “ke kiri jalan terus”.
Aku turun dari bus di Jalan Diponegoro, tepatnya depan kantor Kodim. Kunyalakan GPS untuk menuju ke alun-alun Temanggung. Sekitar 400 meter, setelah menyeberang sana menyeberang sini, sampailah aku di sana.

Gerbang Alun-alun Temanggung

Alun-alun ini berupa lapangan yang tidak terlalu besar, mungkin hanya dua pertiga dari alun-alun kota Magelang. Seperti lazimnya alun-alun, di sini juga dikelilingi pohon besar, terutama beringin. Di seberangnya ada Masjid Agung Darussalam. Menurut tradisi kuno, memang pohon beringin adalah simbol “keteduhan jasmani”, dan masjid berkaitan dengan religi atau “keteduhan rohani”. Mungkin inilah yang disebut “local wisdom”, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, alam dan sesama yang berjalan searah.
Banyak masyarakat yang sedang jalan-jalan, baik pelajar yang nongkrong sepulang sekolah, pegawai kantoran yang sedang makan siang atau ibu-ibu yang mengajak anaknya bermain. Aku sendiri iseng menjepretkan kamera ke beberapa sudut. Nggak peduli deh, biarpun ada yang menatap heran. Mungkin pikir mereka, ini anak nggak pernah lihat alun-alun kali ya?
Kedai kuliner pun membentang di sepanjang alun-alun. Kebanyakan menunya seragam, seperti batagor, es buah dan bakso. Wah, kalo yang begini sih, di Magelang juga ada bro! Aku jadi nggak tertarik. Ngapain juga jauh-jauh ke sini kalau semua itu juga ada di kotaku?
Nah, habis ini kemana? Aku teringat beberapa hari lalu komunitasku, Kota Toea Magelang, ada acara Djeladjah Petjinan di Temanggung. Yang aku ingat, salah satunya rumah tua di dekat Kodim. Jadi aku putuskan, balik lagi ke “titik nol” alias tempatku turun tadi.
Memang betul, di Jalan Diponegoro ada beberapa rumah peninggalan masa lalu. Aku lihat… wow.. arsitekturnya masih asli. Pintu dan tiangnya pun terlihat sangat bersih, pertanda kalau rumah-rumah ini masih ditinggali. Karena masih ditinggali dan ada orangnya, aku nggak berani ah masuk sembarangan… 
Karena kesulitan menyeberang, aku maju sedikit ke Jalan Tentara Pelajar. Di sini kutemukan sebuah bangunan tua lain, yang adalah gedung Bioskop City. Di depannya ada plang bekas poster yang sudah lapuk. Aku nggak bisa masuk karena ditutupi pagar seng. Hm… memang, bioskop daerah sudah tergerus zaman gara-gara munculnya DVD di awal 2000-an. Menurut info di Google, gedung ini pernah digunakan oleh Kodam, yang setahun lalu dikembalikan ke pemiliknya, seorang pengusaha keturunan Tionghoa. Namun sejak Juli 2015 lalu dibiarkan mangkrak.

Gedung Bioskop City

Sekarang aku jalan ke Pasar Temanggung. Pasar di sini lumayan besar karena terdiri dari beberapa komplek. Salah satu yang menarik perhatianku adalah Pasar Temanggung Permai, yang berupa beberapa blok kios yang tertata rapi. Ya, pasar yang diresmikan oleh Kementerian Perdagangan RI ini memang dicanangkan sebagai pasar percontohan. Ada pedagang pakaian, alat tulis, elektronik dan warung makan. Sayangnya, ternyata nggak seindah namanya, pasar ini sangat sepi, banyak kios yang tutup. Terbukti, cuma segelintir orang yang masuk untuk belanja. Mungkin karena Pasar Kliwon di seberang lebih besar dan lengkap jadi orang lebih banyak berbelanja di sana(ini dugaanku lho).

Pasar Temanggung Permai
Pasar Kliwon bagian barat

Sebelum pulang, aku berpikir untuk beli kue. Salah satu jajanan khas Temanggung adalah ndas borok, artinya kepala yang borokan. Biarpun namanya serem, kue dari ketan berisi gula merah ini sungguh menggugah selera. Sayang sekali, aku nggak bisa temukan, habisnya kata orang makanan ini memang langka…..yaaaah…terpaksa, aku cari yang lain.
Selagi aku berkeliling komplek pasar utara, aku temukan penjual kue tradisional yang biasa disebut “tenongan”. Nah, di sini ada kue yang juga kesukaanku : kelepon. Satu takir kecil cukup Rp. 600, aku beli tiga! Tiba-tiba aku lihat kue yang lumayan asing. Mirip wajik tapi tidak terlalu basah, warnanya pink berlapis putih, dengan takir dari kertas roti. Kata ibu penjualnya, namanya sengkulun. Dijualnya bukan eceran, tapi Rp. 5000 dapat satu plastik isi 10.  Ya, mumpung ada aku beli deh, nanti bisa berbagi sama ortu.

Sengkulun

Saatnya pulang! Untuk pulang, aku harus menyeberang ke pasar sebelah selatan lalu naik angkot jurusan Kranggan yang warnanya hijau tua, soalnya bus yang dari arah Wonosobo nggak lewat kota. Nanti kita bisa turun di terminal Temanggung atau jembatan Sungai Progo. Harap maklum, angkot baru akan jalan kalau penumpangnya sudah cukup penuh. Dan saat naik angkot ini aku temui hal tak biasa lainnya. Ada seorang perempuan yang jadi calo penumpang. Nggak masalah, yang penting dia kerja halal demi mencukupi kebutuhannya. Kenyataannya, toh dia terlihat enjoy. Begitulah, hidup memang tak selalu sesuai harapan, tapi semua akan bermakna asal kita menikmati. Ya, seperti perjalananku hari ini….