Senin, 25 September 2017

Solo Travelling (11) : Kereta Api Membawaku Keliling Joglosemar


Dalam hati aku agak menyesalkan, kota tempat tinggalku, Magelang tidak ada kereta api. Mau naik kereta api harus ke Jogja atau Semarang dulu. Andai saja ada… waw… enak banget….Apalagi kereta api itu berangkatnya nggak selalu pagi, kadang malam juga ada. Jadi kalau malam-malam aku lagi bête atau bosan di rumah, langsung ngacir aja ke stasiun, beli tiket seharga berapa puluh ribu… dan jugijaggijug….kereta berangkat.. dan tahu-tahu sampailah aku ke Solo atau Surabaya.
Pemerintah kabarnya ingin menghidupkan lagi jalur kereta di Magelang.. tapi ya, masih sebatas janji. Mungkin bingung, mau ditaruh di mana jalur itu, soalnya jalur lama udah banyak yang alih fungsi jadi pemukiman. Bisa heboh kalau terjadi penggusuran besar-besaran.
Ah udahlah, yang jelas hari ini aku mau mengitari daerah lain dulu. Tepatnya jalur kereta api Semarang-Solo. Cuma ada satu kereta jurusan Solo dari Semarang, yaitu KA Kalijaga. Sebuah trayek kereta yang menggunakan nama salah satu dari Walisongo. Udah lama banget aku ingin naik, karena kereta ini lewat Kabupaten Grobogan yang belum pernah kulihat sebelumnya. Lagipula, tarifnya murah banget, Rp. 10.000 per orang.
KA Kalijaga cuma beroperasi untuk rute Solo-Semarang dan Semarang-Solo masing-masing 1 kali dalam sehari. Untuk rute Solo-Semarang berangkat pukul 05.20. Jelas sama sekali nggak terjangkau kalau berangkat dari Magelang, kecuali menginap di Solo. Akhirnya aku pilih rute kedua, Semarang-Solo, yang berangkat jam 08.45. Itu artinya, berangkat dari Magelang harus pagi-pagi.
Setelah sport jantung karena masalah perjalanan : jalanan macet, bus Magelang-Semarang ngetem lama dan sulitnya mendapat bus Trans Semarang, akhirnya dengan diantar GoJek dari Sukun Banyumanik, aku sampai di Stasiun Poncol.  Nggak pakai lama, aku langsung berlari ke loket penjualan  tiket. Waktunya tinggal 20 menit lagi, jadi cepatlah!

Stasiun Semarang Poncol

Tempat penjualan tiket KA lokal terpisah dengan KA jarak jauh, jadi kita harus jeli dengan tulisan di loket. Loket KA lokal sendiri letaknya paling kiri. Begitu aku mendekat, mbak yang jaga langsung tahu “Kereta Kalijaga ya? Untuk berapa orang?” “Satu” jawabku. Aku langsung menyerahkan uang Rp. 10.000 dan kami masing-masing mengucapkan terima kasih.
Ngomong-ngomong, selain KA Kalijaga, loket ini juga menjual tiket KA Kedungsepur dengan rute Semarang-Ngrombo. Buat yang belum tahu, Ngrombo itu sebuah kecamatan di dekat Purwodadi. Aku pengin juga sih, naik KA itu. Harganya sama, Rp. 10.000 per orang. Sayang beribu sayang, jam keberangkatannya dari Semarang adalah jam 06.00 dan 15.45. So, kapan-kapan aja ya!
Segera aku check in, masuk ke stasiun. Ternyata KA yang ingin kunaiki sudah datang. Aku langsung bertanya lokasi gerbong ke petugas, dan naik.
Asyik, aku dapat tempat duduk dekat jendela! Jadi nanti, aku bisa lihat pemandangan dengan jelas. Ya, biarpun dudukku menghadap ke belakang, posisi yang nggak terlalu kusukai karena bikin pusing kalau kelamaan. Terdengar pengumuman dari speaker kereta berupa ucapan selamat datang dan daftar  stasiun yang akan disinggahi, yaitu Stasiun Semarang Tawang, Brumbung, Kedungjati, Telawa, Gundih, Salem, dan berakhir di Stasiun Solo Balapan.

Inilah kereta api Kalijaga



Bagian dalam KA Kalijaga

Saat kereta berangkat, gerbong yang kunaiki masih lengang, baru terisi beberapa orang. Begitu juga ketika berhenti di Stasiun Tawang, jumlah penumpang tidak sampai 50%. Mungkin karena bukan hari libur, mungkin juga karena sebagian orang lebih suka naik bus ke Solo.
Kereta mulai meninggalkan kota Semarang. Aku berusaha menikmati perjalanan dengan lihat pemandangan sambil sesekali jeprat jepret kamera HP. Penumpang di sekitarku sibuk dengan aktivitas masing-masing, sementara beberapa kru kereta menjajakan minuman dan snack. Hingga tanpa disadari, kereta sudah berhenti. Sebuah stasiun yang bentuknya seperti gudang penyimpanan dengan kereta barang di depannya. Stasiun Semarang Gudang? Ternyata bukan. Ini adalah Stasiun Brumbung, satu-satunya stasiun kereta yang masih aktif di Kabupaten Demak. Dan ternyata bangunan utama stasiun itu sendiri nampak di jendela seberangku (sebelah kanan), bangunan gudang itu adalah bagian belakangnya. Belakangan aku ketahui, gudang ini adalah milik perusahaan semen Holcim. Semen diangkut dengan kereta barang dari pabriknya di Cilacap, untuk selanjutnya didistribusikan ke Semarang dan sekitarnya. Ooooh...

Gudang semen Holcim dan kereta barang di Stasiun Brumbung

Berangkat lagi! Kali ini kereta menyusuri ruas jalur Semarang-Tanggungharjo. Ngomong-ngomong, jalur ini adalah jalur kereta tertua di Jawa yang dibangun pada tahun 1867.  Stasiun Tanggung sendiri sudah tidak lagi melayani penumpang, hanya untuk persilangan kereta api. Sayangnya, karena terlalu fokus dengan jendela di sampingku, aku tidak sempat melihat stasiun yang letaknya di sebelah kanan.
Memasuki Kabupaten Grobogan, suasana yang ada nyaris membuatku tak percaya bahwa ini di Jawa Tengah. Terbentang tanah kapur yang berbukit-bukit. Sebagian besar digunakan sebagai ladang tanaman  jagung, pisang, dan ketela. Tak ketinggalan juga hutan jati yang menambah semarak.

Tanaman pisang di tengah perbukitan

Ladang jagung
Kalau kereta semakin mendekati pemukiman warga, itu tandanya stasiun sudah dekat. Ya, stasiun berikutnya : Stasiun Kedungjati. Daerah ini dinamakan Kedungjati, karena lokasinya di tengah hutan jati.

Stasiun Kedungjati
Stasiun Kedungjati dibangun pada tahun 1873, sezaman dengan Stasiun Ambarawa. Tak heran kalau  bangunannya pun menggunakan arsitektur zaman kolonial, dengan jendela berukuran besar dan pilar-pilar bergaya puri. Dulu, stasiun ini adalah penghubung utama jalur Semarang-Solo. Namun sekarang tidak banyak kereta api yang lewat di sini. Semoga saja reaktivasi jalur kereta Ambarawa-Kedungjati segera diselesaikan, agar stasiun ini ramai lagi.
Lepas dari Kedungjati, hari semakin siang, untungnya kereta ini memiliki AC sehingga penumpang tidak kepanasan. Pandanganku masih tidak lepas dari pemandangan di luar, biarpun yang terlihat sama dengan tadi : hutan jati, ladang jagung dan kebun pisang, kadang diselingi dengan pemukiman penduduk. Sempat melewati Stasiun Padas, stasiun kecil yang hanya berfungsi sebagai lokasi persilangan kereta api.
Tak lama, kereta berhenti lagi di Stasiun Telawa, Kecamatan Juwangi. Uniknya, meski “terkurung” oleh Kabupaten Grobogan, Juwangi termasuk dalam Kabupaten Boyolali. Dan Telawa adalah satu-satunya stasiun aktif di kabupaten ini. Entah kenapa dinamakan Telawa, aku nggak tahu, mungkin nama desa di sini. Stasiun kecil ini sempat dinonaktifkan oleh PT KAI, tapi karena banyaknya permintaan dari masyarakat, akhirnya dibuka kembali pada tahun 2015. Kenyataannya hari ini, tak sedikit juga penumpang yang naik atau turun di sini.

Rel kereta di depan Stasiun Telawa

Hutan jati diterpa sinar matahari

Perjalanan selanjutnya, lagi-lagi pemandangan tanaman jagung, pohon jati, dan pohon pisang yang diterpa sinar matahari. Aku coba alihkan pandangan ke jendela seberang. Ternyata sedikit berbeda. Suasana pemukiman pedesaan lebih mendominasi. Yang menarik, sebagian rumah di sini menggunakan atap tradisional, yaitu joglo.

Pemandangan sebuah rumah di Geyer, Grobogan

Waktu terus berjalan seiring dengan kereta yang terus melaju. Stasiun Gundih adalah perhentian berikutnya. Nama kecamatan di sini sebenarnya adalah Geyer, tapi lebih dikenal dengan nama Gundih.
Stasiun Gundih juga merupakan stasiun tua, seperti halnya Stasiun Kedungjati. Sayangnya, aku nggak bisa melihat jelas bangunannya karena terletak di sebelah kanan. Aku cuma bisa menyaksikan beberapa gerbong kereta dan lokomotif yang sedang parkir. Tapi sekilas bisa terlihat bahwa bangunan stasiun ini juga bergaya kolonial yang masih asli. Di dekat stasiun juga masih berdiri bangunan tua, yang mungkin adalah rumah dinas kepala stasiun.

Lokomotif yang sedang parkir di Stasiun Gundih

Oh ya, di sebelah utara stasiun ini ada persimpangan jalur kereta menuju Gambringan, yang saat ini cuma digunakan sebagai jalur cadangan.  Ingin rasanya aku turun buat lihat-lihat daerah ini, syukur-syukur nemuin penjual pecel Gambringan. Eh, tapi gimana kalau ketinggalan kereta? Repot pulangnya
Perjalanan di Kabupaten Grobogan diakhiri dengan melewati Stasiun Goprak, stasiun yang hanya digunakan untuk persilangan. Nah, sekarang saatnya memasuki Kabupaten Sragen. Pemandangan ladang masih terlihat, tapi karena datarannya lebih tinggi, di sini dibangun terasering untuk mencegah longsor.

Terasering untuk mencegah longsor

Jalan raya di Sumberlawang, Kabupaten Sragen

Sampai di Sumberlawang, suasana perkotaan mulai terasa, karena rel kereta berada tak jauh dari jalan raya. Begitu juga ketika mendekati Stasiun Salem, Gemolong, mulai terdapat beberapa perlintasan karena lokasi rel dekat dengan pemukiman warga. Stasiun Salem adalah stasiun terakhir bagi KA Kalijaga untuk menaikturunkan penumpang sebelum menuju perhentian terakhir di Stasiun Solo Balapan.

Sebuah rumah dekat Stasiiun Salem

Semakin mendekat ke perhentian terakhir, mulai terdengar alunan lagu. Tadinya aku pikir, awak kereta bakal memutar lagunya Didi Kempot. Eh, tak kusangka, yang diputar adalah lagu religi dari Gigi. Hmmm… mungkin pikir mereka daripada lagu campursari lebih baik dikasih lagu yang lebih punya makna.

Oh Tuhan... mohon ampun 
Atas dosa dan dosa
S'lama ini aku tak menjalankan perintahMu
Tak pedulikan namaMu
Tenggelam... melupakan diriMu.
...............

Daaan… tepat jam 11.45 KA Kalijaga sampai di Stasiun Solo Balapan. Total waktu perjalanan adalah 2 jam 45 menit. Aku langsung turun. Ya, untuk kesekian kalinya aku kembali menjejakkan kaki di kota Solo.

Sampai jumpa KA Kalijaga!

Stasiun Solo Balapan


Agar tidak kesorean pulangnya, aku sengaja nggak jauh-jauh dari stasiun. Menurut perhitunganku, sebaiknya aku segera naik KA Prameks ke Jogja jam 13.00. Seperti halnya di Stasiun Poncol tadi, di sini juga ada loket khusus untuk KA lokal.  Saat aku menuju ke loket, weladalah antrinya… panjang bener. Ternyata antrian beli tiket ini untuk KA Prameks yang jam 12.15. Setelah kloter ini berangkat, barulah tiket yang untuk jam 13.00 dijual. Minat masyarakat untuk naik KA Prameks memang tinggi, karena kereta ini adalah penghubung utama Jogja-Solo. Di samping itu, tarifnya juga terjangkau, lebih murah dari naik bus.
Karena masih setengah jam, aku jalan-jalan dulu keluar stasiun. Di dekat stasiun ada Pasar Ayu Balapan, yang menjual aneka kuliner, batik, hingga barang-barang kerajinan berukuran kecil yang kalau di sini disebut klithikan. Seporsi soto yang menyegarkan langsung mengenyangkan perutku siang ini.

Pasar Ayu Balapan

Nah, saatnya pulang. Aku balik ke stasiun dan langsung beli tiket. Untungnya, baru jam 12.20 sehingga loket masih sepi.  Langsung aku dapat tiket seharga Rp. 8000. Oh ya, sekedar tips buat kalian yang mau naik KA Prameks, sebaiknya kalau beli tiket waktunya jangan terlalu mepet. Jadi, setelah KA Prameks yang kloter sebelumnya diberangkatkan, segeralah beli tiketnya agar tidak terjebak antrian panjang seperti tadi. Satu lagi yang perlu diingat, tempat duduk tidak ditentukan. Kalau kalian nggak ingin kehabisan tempat duduk yang nyaman, sebaiknya naik dari Stasiun Balapan. Dan begitu kereta datang, segeralah naik.
Beruntung, aku dapat tempat duduk yang cukup nyaman di dekat pintu. Maka, biarpun nantinya kereta penuh, aku nggak terlalu sulit buat turun.
Setiba di Jogja, kira-kira 1 jam kemudian, aku putuskan turun di Stasiun Maguwo, yang letaknya satu komplek dengan Bandara Adisucipto. Bukannya mau sok masuk airport, tapi karena akses bus Trans Jogja untuk menuju terminal lebih mudah dari sini. Kalau dari Stasiun Tugu atau Lempuyangan, harus jalan kaki lumayan jauh buat menuju halte Trans Jogja. Ya, dari halte di depan bandara, aku tinggal naik bus ke Terminal Condongcatur, disambung ke Terminal Jombor, hingga akhirnya bus ke Magelang.
Tanpa terasa, hari ini aku sudah mengitari Joglosemar (lebih tepatnya sih Semarlojog, karena aku mulai dari Semarang). Keinginan naik KA Kalijaga yang selama ini aku dambakan terbayar sudah.