Senin, 26 Februari 2018

My First Backpacker (Part 5) : Naik Turun Gunung dari Selecta ke Songgoriti


Biarpun belum terbiasa, akhirnya aku bisa tidur juga. Malahan paginya aku agak malas bangun gara-gara kecapekan kemarin. Mau bangun jam 06.00, “Ah, sebentar lagi”. Sebentar lagi melulu, akhirnya jam 07.30 aku baru bangun tidur. Kesiangan deh... tapi bagaimanapun aku harus lanjut perjalanan hari ini.
Setelah mandi dan bersiap-siap, aku keluar dari hostel. Kota Batu adalah tujuanku hari ini. Awalnya aku mau cari sarapan dulu, tapi di kawasan pasar dan Jl. Martadinata nggak ada makanan yang memancing seleraku. Lagipula entah kenapa dari kemarin aku nggak selera makan nasi. Akhirnya aku naik angkot dari Jl. Kyai Tamin. Pikirku, nanti cari makan di terminal atau sekalian aja di Batu.
Ternyata aku masih harus ganti angkot di seberang Stasiun Malang Kotabaru. Kata pak supirnya, dari sini aku harus naik angkot jurusan Dinoyo, turun di Terminal Landungsari, baru disambung angkot ke Batu. Yah… biarpun agak ribet, aku nggak usah mengeluh, hitung-hitung keliling kota.
Rasa laparku rupanya udah nggak bisa kutahan. Untungnya kutemukan pusat kuliner berjajar di seberang stasiun. Huh, kenapa kemarin bisa nggak terlihat sih? Di sini banyak pilihan mau makan apa.


Pusat kuliner depan Stasiun Malang

Langkahku terhenti di sebuah warung. Di sini tersedia aneka makanan khas Jatim, ada tahu campur, tahu telur, rujak cingur, dan rawon. Aku pilih tahu campur. Menurut info yang sering kubaca, tahu campur ini mirip kupat tahu Magelang, cuma ditambah perkedel singkong, kikil, dan petis.
Tak lama,penjual menghidangkannya padaku. Aku langsung menikmatinya. Sesendok, dua sendok, lama-lama… lho, rasanya beda dengan yang kubayangkan. Di piringku ada irisan sawi, taoge, singkong rebus, cingur sapi, dan sedikit sambal, dengan kuah berbumbu petis. Nggak ada tahu sepotong pun. Ada tempe, itu pun cuma secuil. Apakah mbak penjualnya keliru? Atau dia belum sempat beli tahu lalu pakai sembarang bahan yang ada? Atau mungkin dia melihatku sebagai turis, jadi dibuatkan rujak cingur biar aku cicipi? Pertanyaan itu kupendam saja di hati. Aku merasa nggak enak kalau protes, karena udah kumakan separuh.
Toh akhirnya makanan aneh itu kuhabiskan juga. Ditambah teh hangat dan kerupuk, harganya jadi Rp. 15.000. 


Ini tahu campur atau rujak cingur ya?


Berhubung hari semakin siang, aku segera mendekati angkot jurusan Dinoyo yang ngetem dekat situ.
Oh ya, soal rute atau jalur angkot. Angkot di Malang tidak pakai nomor, tapi singkatan nama daerah yang dilalui, contohnya ADL (Arjosari-Dinoyo-Landungsari), LDG (Landungsari-Dinoyo-Gadang) atau MKS (Mulyorejo-Klayatan-Sukun). Pembeda lainnya adalah warna garis pada angkot, misalnya garis abu-abu untuk ADL dan garis putih untuk LDG.
Biasanya aku paling malas kalau tunggu angkot ngetem. Tapi pagi ini, aku enjoy dengan keadaan ini. Aku sengaja duduk dekat pak supir yang segera mengajakku berbincang basa-basi. Keberanianku solo traveler dengan jarak hampir 350 km ini membuatnya kagum. Belum tahu dia… aku bahkan pernah ke Jakarta sendirian, padahal masih buta arah.
Angkot berangkat meskipun penumpangnya cuma aku dan seorang lagi. Sepanjang perjalanan, aku dimanjakan dengan pemandangan kota yang ramai berikut suasana yang menyejukkan mata. Benar-benar kota yang indah.

Jalan menuju Dinoyo

Perjalanan terus berlanjut, aku sempat melewati Dinoyo, daerah yang terkenal sebagai pusat kerajaan Kanjuruhan pada abad ke 8. Selanjutnya, angkot melaju ke pinggiran kota Malang. Tidak banyak penumpang yang naik angkot. Sampai di Terminal Landungsari, cuma tinggal aku sendiri. Memang, biarpun jumlahnya banyak, angkot di Malang berangsur-angsur sepi karena banyaknya kendaraan pribadi. Beruntung dengan posisi Malang sebagai daerah wisata, mereka bisa tetap bertahan.
Terminal Landungsari ini adalah terminal angkot di sebelah barat kota Malang. Buat yang mau ke Batu dan sekitarnya bisa naik angkot dari sini.
Sama sekali tidak sulit menemukan angkot jurusan Batu, karena jumlahnya cukup banyak. Cuma ya, kita musti sabar, karena kadang-kadang ngetem cukup lama. Kecuali kalau pak sopirnya udah bosan menunggu penumpang, maka 2-3 orang saja udah cukup buat berangkat.
Benar saja, dengan berpenumpang aku dan seorang ibu, angkot berangkat menuju Batu. Keluar dari kota Malang, jalan mulai menanjak. Suhu udara mulai turun. Jarak Malang ke Batu adalah 17 km, bisa ditempuh kurang dari setengah jam.
Sesampai di Terminal Batu, puluhan angkot dengan berbagai jurusan sudah menunggu. Lagi-lagi kita dimudahkan karena angkot di Batu melewati sebagian besar objek wisata yang ada, di antaranya jurusan Selecta dan Songgoriti. Pembedanya adalah warna mobilnya.
Aku memilih pergi ke Selecta, jadi aku naik angkot warna oranye. Tak lama,angkot menyeberang ke pasar di seberang terminal. Dalam hitungan menit, mobil ini penuh dengan penumpang, baik wisatawan maupun warga lokal berbaur jadi satu.
Perjalanan mengelilingi kota Batu yang sejuk dan tidak terlalu ramai bikin hati terasa damai. Puluhan penginapan dan beberapa taman yang indah sempat kulewati. Sempat terlihat juga Museum Angkut dan agrowisata apel hijau.
Sejurus kemudian, angkot menanjak naik ke pegunungan. Pemandangan kota Batu mulai menjauh di bawah. Pohon-pohon tinggi khas pegunungan menghijaukan suasana. Kesejukan dan kedamaian menyeruak. Wah… rasanya… seperti di surga. Andai ada yang menemaniku, pasti lebih asyik lagi. 

Kota kecil di kaki gunung
Di sana pertama cinta bersemi
Suasana tenang dan damai
Tiada cemburu tiada nestapa
Sungai berliku di kaki bukit’
Di sanalah kita bercumbu
Cinta pertama kita berdua
Terukir di pucuk cemara


(Cemara Cinta by Dian Piesesha)

Ternyata ada saja halangannya. Sesampai di Selecta, hujan turun dengan derasnya. Terpaksa aku jalan sambil bawa payung.
Selecta adalah sebuah taman yang sudah terkenal sejak zaman Belanda. Tiket masuknya Rp. 30.000. Cukup mahal memang. Tapi semua terbayar dengan keindahan yang ditawarkan. Objek wisata ini letaknya cukup tinggi, jadi aku harus hati-hati melewati jalan beraspal yang licin karena hujan.

Sampai juga di Selecta

Di depan pintu masuk taman, beberapa akuarium besar dengan ikan-ikan koi yang hilir mudik. Di atasnya patung Dewa Wisnu, yang melambangkan bahwa kawasan ini adalah bagian dari kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Semakin ke dalam, kutemui kolam renang dan waterpark. Pengunjung hari itu penuh, kebanyakan anak-anak dan orang tuanya yang asyik main air. Hujan sama sekali nggak menyurutkan kegembiraan mereka. Aku heran, apa nggak kedinginan ya. Aku suka main air, tapi kalau harus menggigil sih… sorry lah ya.

Kolam renang ini sudah terkenal sejak zaman Belanda lho!

Asyik bermain di waterpark, apa nggak kedinginan ya? 

Tapi memang, apa yang indah tidak boleh dilewatkan. Karena nggak ingin berenang, aku menuju ke kebun bunga. Wow…. Luar biasa. Hamparan bunga-bunga beraneka warna menghiasi lereng bukit. Mulai dari bunga mawar sampai edelweiss. Kita bebas naik turun bukit. Ibarat lagu “Bukit Berbunga”. Tapi jangan coba-coba memetik bunga, karena di sini dilarang. Kalau ingin sambil bermain, bisa coba wahana becak udara.

Wow. luar biasa indahnya


Nggak bosan-bosan melewati rimbunnya bunga

Aku berkeliling menikmati semua keindahan ini sambil sesekali jeprat-jepret kamera HP. Sempat seorang ibu yang datang bersama rombongan minta tolong buat difotokan. Tak heran, tempat ini jadi spot favorit buat foto-foto. Mau selfie atau groupie silahkan saja yang penting jangan sampai merusak taman.
Sesudah puas melihat-lihat, aku keluar dari taman. Di dekat tempat parkir, ada penjual bunga dan tanaman hias. Tak ketinggalan pasar kuliner. Semua tertata rapi. Tentu saja aku nggak melewatkan kesempatan ini. Tapi mau beli tanaman? Ah, nggak. Selain repot bawanya, aku juga nggak telaten kalau disuruh berkebun. Aku beli makanan saja.

Monggo, dipilih tanamannya

Pasar aneka kuliner

Di pasar kuliner ini belasan warung berjajar menjajakan oleh-oleh khas Malang dan Batu. Seorang ibu dengan ramah menawarkan dagangannya bikin aku nggak bisa menolak. Yang utama sudah pasti apel. Eit… di sini apelnya nggak cuma apel hijau. Ada juga apel yang agak kemerahan atau hijau kekuningan. Menurut penjualnya, bedanya dari segi rasa. Apel yang kemerahan rasanya sedikit asam, apel hijau lebih manis, sedangkan yang kekuningan tidak terlalu manis tapi segar.
Harga apel cukup murah. Sekilo cuma Rp. 10.000. Selain apel, warung ini juga menjual keripik tempe, keripik buah, dan minuman sari buah. Siapa yang nggak tergoda? Yup, daerah Batu dan sekitarnya memang terkenal sebagai penghasil buah-buahan, khususnya apel. Tapi karena malas bawa barang berat (takut sakit punggung seperti kemarin), akhirnya aku cuma beli sekilo apel hijau, ditambah sebungkus keripik tempe seharga Rp. 3.500.
Karena belum makan siang, aku menikmati bakso Malang di sebuah kedai, bagian depan pasar kuliner. Makanan yang juga sering disebut Bakwan Bromo atau Bakwan Kawi ini isinya komplit. Selain mie dengan bakso ukuran besar dan kecil, juga ada tahu bakso dan pangsit yang juga dalam ukuran besar. Semuanya tenggelam dalam kuah kaldu sapi yang gurih. Seketika aku langsung merasa kenyang. Harganya sebandinglah, Rp.13.000


Makan bakso dulu yuk

Nah, sekarang ke mana lagi? Waktu baru jam 12.30. Terlalu cepat kalau balik ke Malang sekarang. Aku pun pikir-pikir, mencari tempat wisata yang terjangkau. Aku teringat waterpark tadi. Kalau berenang di tempat dan cuaca seperti ini pasti kedinginan, tapi kalau airnya hangat? Wah, pasti enak. Ya, Pemandian Cangar atau Songgoriti.
Sayangnya, dari Selecta ini tidak ada angkutan menuju Cangar, apalagi jaraknya jauh dari sini. Bisa kesorean aku kalau nekat ke sana. Kalau Songgoriti, masih memungkinkan, tapi aku harus balik ke Terminal Batu dulu.
Hujan kembali turun cukup deras. Hampir setengah jam aku menunggu angkot di depan gerbang masuk Selecta. Sampai akhirnya sebuah angkot berwarna oranye berhenti di depanku. Aku langsung naik setelah memastikan bahwa itu jurusan Batu. Tak lama, angkot ini langsung berangkat menembus hujan.
Turun di Terminal Batu, aku langsung ganti angkot kuning jurusan Songgoriti. Dan ibarat naik turun gunung, aku kembali lewat jalan menanjak di lereng gunung Arjuna. Jalan tidak seramai tadi, hanya sesekali berpapasan dengan mobil atau bus wisata.
Sebuah gerbang bergaya candi berdiri tepat di depan Pasar Songgoriti.  Nggak salah lagi, inilah Tirta Nirwana, tempat yang ingin kukunjungi. Turun dari angkot, aku segera masuk dan membayar tiket seharga Rp. 15.000.

Pintu masuk Tirta Nirwana, didesain ala candi

Begitu masuk… kembali indahnya perbukitan menyapaku. Sesuai rencana, aku ingin berendam air hangat.  Ada 2 kolam di sini, kolam renang biasa dan kolam renang air hangat.
Tapi ugh… terpaksa niatku tadi kuurungkan. Habisnya kolam air hangat di sini sudah dipenuhi anak-anak, lagipula tempatnya didesain ala waterpark. Malu dong, mandi bareng anak-anak.

Yang depan kolam renang biasa, di belakangnya kolam air hangat

Di sudut lain, sebenarnya ada kamar mandi dengan air hangat. Tapi harus bayar Rp. 7500. Yaaah… kalau gini sih, apa bedanya dengan aku mandi air hangat di hotel.  Akhirnya sambil menahan kecewa, aku tinggalkan kawasan pemandian, melangkah ke taman di bagian belakangnya.
Aku berusaha melihat setiap sudut dengan teliti, berharap menemukan sesuatu yang menarik. Tapi ternyata nggak ada yang pas. Cuma ada taman bermain anak-anak dengan patung-patung hewan atau mobil mini di sekitarnya. Ada juga danau buatan yang menyediakan wahana sepeda air. Sekilas tak jauh beda dengan Taman Kyai Langgeng di Magelang. Jelas tempat seperti ini kurang cocok buatku, apalagi siang ini kebanyakan pengunjungnya anak-anak. Aku cuma bisa duduk di lereng bukit, melemaskan kaki sambil melihat pemandangan anak-anak sedang bermain.

Taman bermain dengan patung mobil mini

Tiba-tiba hujan turun lagi. Cepat-cepat aku keluar dari kawasan Tirta Nirwana ini. Baru sampai di depan gerbang, derasnya air hujan seakan sudah nggak sabar. Terpaksa aku berteduh di depan Pasar Songgoriti, menunggu angkot ke Batu.  Aku putuskan pulang saja ke Malang. Lain kali bisa kunjungi tempat lain lagi. 
Lamaaaa sekali aku menunggu angkot. Hingga akhirnya angkot berwarna kuning lewat. Biarpun harus berdesakan sama anak sekolah, lebih baik daripada nggak bisa pulang. Ngomong-ngomong, angkot di Batu cuma beroperasi sampai sore, jadi jangan sampai kemalaman di sini. 
Hujan berangsur reda saat memasuki kota Batu. Angkot melewati pusat kota Batu. Ternyata biarpun daerah pegunungan, Batu bukanlah daerah terpencil. Tetap seperti kota pada umumnya, ada alun-alun, supermarket dan perkantoran. Bahkan sore ini, kota cenderung ramai.  Cuma satu hal yang kusesalkan, baterai HPku habis, jadi nggak bisa ambil foto lagi. 
Aku sampai di Terminal Batu, mencari angkot tujuan Landungsari. Wah, ada angkot yang sudah mau berangkat. Cepat aku mengejar. Tak disangka, seorang tukang ojek member isyarat ke sopir angkot untuk berhenti karena aku mau naik. Padahal sih dia bisa aja memaksaku naik ojeknya buat ke Malang. Aku kagum, ternyata di sini bukan cuma pemandangannya yang indah. Orang-orangnya juga ramah dan baik hati.
Maka, ketika meninggalkan kota Batu, aku membawa kenangan indah. Aku berharap, pertengahan tahun nanti bisa datang lagi.

Rabu, 07 Februari 2018

My First Backpacker (Part 4) : Cerita "Malam Pertama" di Malang

Keluar dari Museum Bentoel, ternyata waktu baru jam 11.30 . Itu artinya masih satu setengah jam lagi aku baru bisa check in hotel. Yaaah… padahal aku sudah sakit punggung dan bahu. Karena malas cari tukang pijat (lagipula nggak penting amat), aku putuskan pergi ke Stasiun Malang Kota Lama, pesan tiket KA Penataran buat pulang lusa. Sambil menahan sakit, aku menyusuri jalan di sekitar Pasar Besar Malang. Jalannya ramai banget, jadi harus ekstra hati-hati kalau menyeberang.
Hei… jalan kok terasa makin jauh aja? Ini di mana? Usut punya usut, ternyata GPSku agak kacau. Salah arah bro! Duh… harus balik lagi. Aku coba tanya ke tukang parkir di situ, ternyata arahnya makin jauh dari stasiun yang kutuju! Untunglah, seorang tukang becak menawatiku naik. Aku terima daripada jalan kaki sambil menahan pegal. Dengan naik becak, aku diantar ke stasiun yang jaraknya 1 km dari situ.
Ternyata orang-orang di sini sangat ramah. Biarpun beberapa daerah di Jawa Timur menggunakan bahasa Jawa kasar, tapi di Malang ini bahasa Jawa “kromo inggil” tetap berlaku. Jadi agak menyesal, tadi aku tanya ke tukang parkir  pakai bahasa Jawa kasar.
Tepat di samping sebuah flyover, berdirilah Stasiun Malang Kota Lama. Biarpun tidak terlalu besar, di sampingnya telah berdiri foodcourt yang bisa jadi pilihan saat kelaparan. Aku masuk ke stasiun untuk pesan tiket KA Penataran tujuan Blitar yang akan kutumpangi lusa.

Stasiun Malang Kota Lama

Mungkin ada yang bertanya-tanya, kenapa saat pulang nanti aku ke Blitar dulu?
Aku jelaskan nih. Bukan mau lanjut travelling tapi karena tiket KA ekonomi dari Malang yang ke Jogja atau Semarang udah pada habis. Daripada keluar uang lebih buat bayar KA eksekutif (padahal pengin juga sih), akhirnya aku putuskan pulangnya naik KA dari Blitar.
KA Penataran yang ke Blitar sendiri tiketnya sudah bisa dipesan H-7 lewat loket stasiun. Jadi kalau belinya terlalu mepet, bisa nggak kebagian. Maka itulah alasannya aku pesan dulu.
Setelah tanya ke petugas, aku mengisi formulir pemesanan, lalu antri di loket. Keputusanku pesan tiket sekarang sungguh tepat, siang itu antrian pemesan tiket lumayan panjang, nggak kalah sama antri beras. Sudah nggak terbayangkan rasa pegal di punggungku. Bukan cuma butuh koyo tapi butuh tukang pijat (kok bahas itu lagi sih...).  Mungkin orang di sekitarku heran, nih orang bawa ransel isinya gendut banget ya.
Untunglah, 15 menit mengantri, giliranku sampai. Selembar tiket berhasil kudapatkan dengan harga Rp. 12.000

Aku keluar dari stasiun. Tapi aku nggak langsung jalan ke hotel. Lebih dulu aku duduk di dekat pintu masuk stasiun, melemaskan otot sambil meneguk air mineral yang kubawa. Karena lapar, aku cari tempat untuk makan siang. Daripada bingung memilih, aku beli aja mie pangsit di bawah flyover. Harganya cukup Rp. 5.000, tapi lumayan kenyang kok.
Sekarang saatnya ke hotel! Hotel atau lebih tepatnya hostel pilihanku adalah Mador (Malang Dorm Hostel) di Jl. Martadinata. Lokasi penginapan ini sangat strategis, di tepi jalan utama, dekat Pasar Besar Malang, di tengah Pecinan, dan di jalur antara 2 stasiun di Malang. Udah gitu, tarifnya murah, Rp. 100 ribu per malam untuk kamar jenis dormitory.

Inilah Mador Hostel, tempatku menginap

Uniknya pintu masuk hostel ini mirip garasi samping rumah. Ya, lokasinya memang agak nyempil, tapi jangan kuatir, di depan jalan raya terpampang jelas nama hotelnya jadi asal kita jeli nggak mungkin nyasar.
Aku segera check in dengan menunjukkan identitas dan bukti pemesanan dari Traveloka. Dengan ramah, resepsionis bernama mas Rahman mengantarku ke sebuah kamar.

Meja resepsionis Mador Hostel
Bagian dalam Mador Hostel
Kamar yang akan kutempati berupa dormitory, artinya kita berbagi ruangan dengan tamu lain. Tapi tenang aja, di sini kamar cowok dan cewek dipisah. Tempat tidurnya berupa ranjang susun ukuran besar yang diberi sekat jadi beberapa ruangan. Satu ranjang raksasa itu bisa diisi 6 orang. 
Biarpun Mador tidak secara langsung menyediakan makan 3 kali sehari, tapi kalau kita butuh air panas buat minum atau bikin Pop Mie bisa ambil di dapur. Setiap pagi, di meja dapur tersedia roti dan selai untuk sarapan. Ngomong-ngomong, selain wisatawan lokal, hostel ini juga sering menerima tamu turis asing. Jadi nggak heran kalau sarapan yang tersedia juga “ala bule”.
Istirahat dulu yuk! Sesudah ganti pakaian, aku langsung masuk ke ruang tidur dan membaringkan diri. Di sini cuma tersedia kasur dan bantal aja. Wajar lah harga segitu. Kalau sekedar buat tidur sih nggak masalah. Ruangan ini juga sudah cukup hangat.
Mungkin karena belum terbiasa atau karena punggungku terasa sakit, aku agak susah tidur. Balik sana balik sini, mata ini susah buat terpejam lama.
Eh, tahu-tahu sudah jam 16.30. Aku siap-siap mandi, untuk kemudian jalan-jalan.
Biarpun penginapan murah, tapi kamar mandinya sudah cukup bagus. Ada shower, airnya pun bisa diatur, mau hangat atau dingin. Berhubung udara Malang agak dingin, aku pilih mandi air hangat aja. Begitu air mengguyur tubuhku… ah, enaknya… seketika fresh, rasa capekku hilang.
Selesai mandi dan berpakaian, aku bersiap keluar hostel. Rencananya sih mau ke Alun-alun Merdeka.

Oh… sungguh sial. Ternyata di luar hujan deras. Nggak bangetlah kalau habis mandi langsung kehujanan. Dengan agak bête, aku duduk di teras sambil main internet. Aku mencoba beberapa aplikasi dan sosmed, berharap menemukan teman baru di kota ini. Tapi hasilnya nihil.
Ada dua orang pria duduk di dekatku. Awalnya mereka asyik berbincang di dekatku, tapi lama-lama akhirnya aku terlibat juga. Ternyata salah satu dari mereka adalah orang Jakarta yang sedang berlibur ke Malang, dan dia sekamar denganku. Seharian tadi bersama temannya yang asli Malang, dia habis jalan-jalan ke Batu dan rencananya nanti malam mau ke Penanjakan alias Gunung Bromo. Cerita dia bikin aku berpikir, alangkah enaknya kalau rame-rame bareng beberapa teman ke Penanjakan lihat matahari terbit. Sayangnya, aku nggak punya teman di sini, lagipula duitku juga terbatas.



Teras Mador Hostel
Sampai menjelang malam, hujan belum reda juga, terpaksa jalan-jalan sore kali ini harus di-cancel. Mau gimana lagi, daripada basah kuyup.
Tapi biarpun begitu, aku tetap harus cari makan malam. Lewat aplikasi GoFood, aku mencari tempat makan terdekat dari Mador. Bukan pesan GoFood, tapi datang langsung. Akhirnya kutemukan Warung Tahu Lontong “Lonceng”, nggak jauh dari sini.
Dengan menembus gerimis yang masih rintik-rintik, aku pergi ke warung itu. Jaraknya cuma beberapa ratus meter dari Mador.
Warung makan ini  sederhana. Menu yang tersedia cuma tahu lontong dan tahu telur. Tapi jangan salah, tempat ini termasuk legendaris di kota Malang. Ya, kenikmatan tahu lontong di sini sudah ada sejak tahun 1935. Konon warung ini disebut juga Tahu Lontong Panca Budhi, karena letaknya dekat dengan gedung yayasan kematian Panca Budhi.
Aku memesan tahu telur. Oh ya, kalau kita nggak suka lontong, bisa diganti dengan nasi. Seporsi tahu lontong dan tahu telur harganya Rp. 9000, karena aku tambah teh hangat jadi Rp. 11000.

Nikmatnya tahu telur lontong (Sumber : tripadvisor,com)
Tahu telur itu berupa telur dadar berisi tahu, dihidangkan dengan irisan lontong, ketimun, taoge dan kerupuk, dipadu dengan sambal kacang yang rasanya unik karena dikasih bumbu petis. Memang, di Jawa Timur, petis populer digunakan untuk campuran saus atau sambal. Setelah kurasakan…. hmmm… enak juga. Tak sampai 10 menit, langsung tandas.
Inilah kenapa aku suka dengan hal-hal yang melegenda. Di tengah persaingan zaman modern, mereka tetap bertahan dengan apa yang sudah dirintis, dan justru kesederhanaan itu menjadi nilai tambah.

Puas dengan tahu telur lontong, aku balik ke hostel dengan perut kenyang. Hari betul-betul sudah malam, jadi keinginanku untuk jalan-jalan sudah hilang. Mendingan sekarang aku gosok gigi lalu merebahkan diri di tempat tidur biar lebih kuat buat perjalanan besok pagi. 

Selasa, 06 Februari 2018

My First Backpacker (Part 3) : Legenda Rokok Bentoel dalam Museum

Aku kembali memesan GoJek menuju tujuanku yang lain. : Museum Bentoel. Aku sengaja memilih tempat ini karena dekat dengan tempatku menginap nanti. Beruntung abang GoJek nya udah hafal dengan lokasi museum ini jadi aku bisa sampai dengan tepat. Terima kasih mas!
Lokasi tepatnya di Jalan Wiromargo, kawasan Pecinan Malang. Ya, di antara keramaian pertokoan dan pasar, terselip sebuah museum.
Kalau kita ingat dengan brand rokok Bentoel, pabriknya ada di Malang ini. Perusahaan besar itu berawal dari usaha sederhana oleh seorang bernama Ong Hok Liong. Nah, tempat ini dulunya adalah rumah tempat pengusaha tersebut mengawali usahanya. Tempat ini kini difungsikan sebagai museum memorial perjalanan pabrik Bentoel, juga memberi inspirasi dan pengetahuan bagi masyarakat.


Museum Bentoel

Begitu masuk ke halaman, aku disambut ramah oleh 2 orang petugas keamanan, satu cowok dan satu cewek. Di sini tidak ada tarif masuk, aku cukup mengisi buku tamu. Sesudah itu, petugas yang cewek mempersilahkanku masuk. 

Memasuki ruang depan, aku ditunjukkan patung Ong Hok Liong,sang pendiri perusahaan. Dengan fasih, mbak petugas menjelaskan tentang sejarah perusahaan Bentoel. Diawali dari sebuah usaha tembakau kering pada tahun 1910, kemudian mengembangkannya menjadi rokok lewat perusahaan manufaktur yang berdiri tahun 1930. Merek Bentoel baru dicetuskan pada tahun 1935. Dari tahun ke tahun perusahaan semakin berkembang hingga merambah ke seluruh Indonesia, serta mendapat pengakuan dari dunia internasional. Pada 2010 perusahaan ini bergabung dengan PT BAT Indonesia Tbk. menjadi Bentoel Group. Bahkan kini Bentoel Group telah menjadi bagian dari British American Tobacco.

Patung Ong Hok Liong, sang pendiri perusahaan

Museum ini ditata dengan rapi, seakan berkunjung ke rumah seseorang, Kita bisa melihat foto kenangan Ong Hok Liong serta beberapa perabot ruangan peninggalan beliau. Ada juga foto-foto para petinggi dari perusahaan Bentoel  saat ini. Ong Hok Liong sendiri sudah lama meninggal pada tahun 1967 di usianya yang ke 74 tahun. Bangunan museum ini adalah representasi dari rumah tinggal Ong Hok Liong di masa lalu. 

Lukisan Ong Hok Liong


Foto direksi Bentoel Group saat ini

Aku diajak masuk ke ruangan lain. Di sini dijelaskan tentang proses dari tembakau menjadi rokok, termasuk cara melinting rokok. Bukan hanya gambar, tapi juga sample beberapa jenis tembakau dan cengkeh. Tak ketinggalan, mesin penggiling tembakau dan mesin linting rokok.

Sample aneka macam tembakau

Mesin giling  tembakau
Mesin linting rokok
Gambaran cara melinting rokok

Ruangan selanjutnya menunjukkan foto-foto aktivitas serta pengembangan dan peraturan perusahaan. Pokoknya lengkap deh informasinya! Bahkan ada sebuah ruang yang unik, ibarat galeri kita bisa lihat desain merek atau kemasan rokok produksi Bentoel dari zaman dulu sampai sekarang. Merek yang diproduksi perusahaan ini ternyata banyak. Selain Bentoel, ada juga Lucky Strike, Sejati, Dunhill, dan sebagainya.

Aktivitas perusahaan tertuang dalam foto

Beraneka merek rokok produksi Bentoel



Sebelum keluar dari museum, mataku tertarik pada sebuah sepeda di tengah ruangan. Kata mbak petugas, sepeda itu dulu digunakan oleh Ong Hok Liong untuk beraktivitas menjalankan usahanya. Wow, hebat sekali, berangkat dari usaha sederhana dan sebuah sepeda menjadi perusahaan bertaraf internasional. Kubayangkan kalau sang pendiri itu masih hidup, dia pasti sudah naik BMW, malah mungkin punya pesawat pribadi.  Semua berkat perjuangan yang tak kenal kata menyerah. 

Sepeda tua, bukti perjuangan Ong Hok Liong