Minggu, 21 Februari 2016

Lagu Masa Lalu (6): El Condor Pasa

Burung kondor
Dalam bahasa Spanyol, “El Condor Pasa” berarti “burung kondor yang terbang”. Burung kondor adalah sejenis burung elang yang hidup di Amerika Selatan. Memang, lagu ini berasal dari Peru, diciptakan oleh Daniel Alomia Robles pada tahun 1913. Irama asli lagu ini sangat kental dengan musik tradisional Peru yang disebut zarzuela. Lirik aslinya mengisahkan tentang kehidupan burung kondor di Pegunungan Andes dari bangun pagi hingga mencari makan.
Ada cerita menggelitik di balik lagu ini. Tahun 1970, Paul Simon dan Art Garfunkel yang tergabung dalam duo Simon & Garfunkel, menggubah lagu ini dengan judul “El Condor Pasa (If I Could)”. Hal ini sempat menuai protes dari Armando Robles, putra Alomia Robles, karena Simon & Garfunkel memakai lagu ini tanpa izin. Namun ternyata Paul memang tidak tahu siapa pencipta lagu ini. Ia mendengarkan “El Condor Pasa” di Prancis dan dia mengira bahwa ini lagu kuno yang tidak diketahui siapa penciptanya. Karena alasan itu, Armando memaafkan Paul. Justru kemudian lagu ini menjadi terkenal di Amerika Serikat.
Sebagai duo yang sering membawakan lagu bertema spiritual, dalam lagu ini pun, Simon & Garfunkel menceritakan ambisi seseorang untuk menjadi yang terbaik dalam hidupnya. Lebih baik jadi burung gereja yang bisa terbang di udara daripada siput yang berjalan lambat di darat. Jelajahi dunia yang begitu luas ini dan jangan terikat di satu tempat saja. 


Lagu asli:

Daniel Alomia Robles
El condor de los Andes desperto
con la luz de un feliz amanecer.
Sus alas lentamente desplego
y bajo al rio azul para beber.
Tras el la Tierra se cubrio
de verdor, de amor y paz.
Tras el la rama florecio
y el sol broto en el trigal
en el trigal.

El condor de los Andes descendio
al llegar un feliz amanecer.
El cielo, al ver su marcha sollozo
y volco su llanto gris cuando se fue.
Tras el la Tierra se cubrio
de verdor, de amor y paz.
Tras el la rama florecio
y el sol broto en el trigal
en el trigal



Lagu gubahan:
Simon & Garfunkel

I'd rather be a sparrow than a snail
Yes I would
If I could, I surely would
I'd rather be a hammer than a nail.
Yes I would
If I only could, I surely would.

Away, I'd rather sail away
Like a swan that's here and gone
A man gets tied up to the ground
He gives the world
Its saddest sound, its saddest sound

I'd rather be a forest than a street.
Yes I would
If I could, I surely would.
I'd rather feel the earth beneath my feet
Yes I would

If I only could, I surely would



Link video:


Minggu, 14 Februari 2016

Lagu Masa Lalu (5): The Wedding







You by my side that's how I see us.
I close my eyes and I can see us.
We're on our way to say "I do".
My secret dreams have all come true.

I see the church, I see the people.
Your folks and mine, happy and smiling.
And I can hear sweet voices singing
"Ave Maria".

Oh my love, my love, this can really be.
That some day you'll walk down the isle with me.
Let it be, make it be that I'm the one for you.
I'd be yours all yours now and forever.

I see us now, your hand in my hand.
This is the hour, this is the moment.
And I can hear sweet voices singing
"Ave Maria, Ave Maria... 
Ave Mari.....a"




Siapa nggak kenal lagu ini? Kalau nggak tahu, kapan-kapan aku ajak ke pesta pernikahan, asal sumbangan ditanggung sendiri… hahaha… Ya, lagu ini banyak dikumandangkan di pesta pernikahan, terutama bagi umat Nasrani. Tidak jarang dikolaborasikan dengan musik pengantin yang “teng teng teng teng” itu.

Coba deh, lihat liriknya, romantis banget. Sukacita dalam hati seseorang karena mimpinya menjadi nyata, yaitu bersanding dengan sang kekasih. Di depan altar gereja, di antara orang-orang yang turut berbahagia, diiringi paduan suara nan manis, dua insan bergandengan tangan menuju kehidupan bersama. Duh…. baca liriknya aja udah bikin merinding, apalagi kalau ngebayangin jadi pengantinnya (tapi kapan ya?).
Lantas bagaimana sejarah lagu ini? Diciptakan oleh Joaquin Prieto, seorang musisi asal Chile. Judul aslinya berbahasa Spanyol, yakni “La Novia”, namun kemudian dibuat terjemahannya dalam bahasa Inggris. Pada tahun 1960-an, Julie Rogers, penyanyi asal Inggris, memasukkan lagu gospel ini dalam album rekamannya. Karena liriknya yang menyentuh, “The Wedding” cepat diterima masyarakat. Hingga kemudian menjadi tren di seluruh dunia sebagai lagu pengiring pernikahan. Meski menggunakan syair “Ave Maria” yang berasal dari agama Katolik, lagu ini telah dapat diterima semua kalangan umat Nasrani.
Dalam perkembangannya, lagu ini banyak diadopsi dalam berbagai bahasa. Contohnya, bahasa Mandarin, dengan judul “Hua Ye Cia Chi”. Di Indonesia, ritme lagu ini dipakai dalam lagu “Cinta Maria” karya Wim Umboh yang dinyanyikan oleh Rachmat Kartolo. Sampai saat ini pun lagu “The Wedding” masih populer, biarpun banyak pasangan lebih memilih lagu lain sebagai soundtrack pernikahan mereka.

Teng teng teng teng… ini link videonya

Jumat, 12 Februari 2016

Solo Travelling (5): Ambarawa, Saksi Kehebatan Para Pendahulu

Welcome to Ambarawa!
Masih ingat pengalamanku menjelajahi jalur kereta api Bedono-Ambarawa tahun lalu? Ya, acara yang diadakan oleh komunitas Kota Toea Magelang itu memang berkesan banget (yang belum tahu, silahkan baca: Djeladjah Djaloer Spoor Bedono-Ambarawa). Cuma sayangnya, waktu itu aku nggak ikut masuk ke Museum Kereta Api Ambarawa karena ada acara lain. Sekarang, aku akan menebus kegagalan itu. Sekaligus berkeliling tempat bersejarah lainnya.
Suatu pagi aku berangkat naik bus ke Ambarawa. Tidak perlu susah-susah buka Google Maps, karena kota ini sudah akrab denganku. Semasa kuliah, hampir tiap minggu aku lewat Ambarawa saat menuju Salatiga.  Apalagi, tujuan wistaku kali ini sangat mudah dijangkau.
Kalau kita naik bus jurusan Yogya-Semarang lewat Ambarawa, biasanya kita akan dengar kernet teriak “Palagan! Palagan!” Nah, itulah saat kita sampai lokasi Monumen Palagan Ambarawa. Tapi teriakan ini nggak berlaku kalau bus yang kita tumpangi belok ke jalan baru alias jalan tembus Ngampin-Bawen, yang letaknya tepat sesudah pom bensin Ngampin. Untuk kasus ini , kita harus rela turun di pom bensin dan naik angkot warna kuning ke Palagan.
Begitu turun di Palagan, kita akan “disambut” dengan monument tank yang berada di sebuah bundaran, tepat di seberang Monumen Palagan Ambarawa. Kalau kita belok ke kanan setelah bundaran, di situlah jalan menuju Museum Kereta Api.
Aku putuskan mengunjungi Museum Kereta Api dulu. Setelah jalan sekitar 500 meter dari tank tadi, sampailah aku ke museum itu. Ups, pintu masuknya sebelah mana? Sempat bingung, akhirnya aku nekat masuk lewat jalan masuk mobil. Aku tanya ke petugas parkir di situ, ternyata, loketnya masih jauh di dalam! Huh, betul-betul nggak kalah dengan stasiun pada umumnya. Dengan tiket seharga Rp. 10 ribu, aku pun masuk ke museum yang juga stasiun ini.
Stasiun Ambarawa
Stasiun Ambarawa ini berdiri pada tahun 1873 dengan "nama lahir" Stasiun Willem I. Stasiun ini ditutup pada tahun 1976 karena jumlah penumpang yang menurun. Biarpun begitu, stasiun ini masih melayani kereta wisata ke Tuntang setiap hari libur dengan tarif Rp. 50 ribu per orang. Sebenarnya, stasiun ini juga melayani kereta ke Bedono, tapi untuk saat ini tutup sementara karena perbaikan jalur. Khusus untuk kereta wisata ke Bedono, penumpang diwajibkan rombongan sejumlah 80 orang. Kereta yang digunakan pun harus loko uap karena jalannya penuh tanjakan. Tarif sewanya nggak main-main, Rp. 15 juta! Jadi, buat yang merasa dirinya bukan orang kaya, jangan sekali-kali deh pesan kereta ke Bedono! Aku sendiri, jangankan buat loko uap, buat kereta wisata aja perlu pikir-pikir dulu…hahaha…
Pertama-tama, aku fokuskan diri pada lokomotif. Lokomotif di sini ternyata berasal dari mana-mana, seperti Jawa Barat, Sumatra bahkan ada yang “diimpor” dari Timur Tengah. Kebanyakan buatan luar negeri seperti Swiss, Jerman dan Italia. Semuanya sudah cukup tua, karena dibuat antara tahun 1891 hingga 1928. Kondisi yang masih utuh menunjukkan bahwa museum ini tak sekedar menyimpan, tapi juga merawat semua benda ini.
Semua gerbong dan lokomotif di sini diletakkan pada rel agar terlihat lebih “hidup”. Suasana stasiun begitu terasa karena peralatan seperti pompa air dan wesel masih tersedia. Wesel di sini bukan alat pengiriman uang lho, tapi alat buat persilangan kereta api.
Untuk gerbong kereta, ada gerbong penumpang maupun gerbong barang. Karena nggak ada tulisan “dilarang naik”, aku mencoba naik ke sebuah gerbong. Ruang penumpang cukup terawat. Zaman dulu, tempat duduknya adalah bangku kayu panjang dengan penerangan secukupnya berupa lampu gantung dan yang jelas tanpa AC. Bisa dibayangkan kalau kereta ini jalan malam hari, mungkin kita bakalan susah tidur… hehehe…

Gerbong yang dulu di Stasiun Kebonpolo
Nah, ini dia! Aku temukan gerbong tua yang dulu ada di Stasiun Kebonpolo, Magelang. Gerbong berwarna hijau putih itu sudah direnovasi sedemikian rupa hingga tampak seperti baru. Dinding gerbong sudah dicat ulang, pintunya juga sudah diganti. Aku pun melongok ke dalamnya, bagian dalamnya kosong tidak seperti gerbong yang kumasuki tadi. Arsitekturnya masih mempertahankan yang lama, dinding dan eternitnya terlihat baik, tapi sudah tidak ada kursi di situ. Pikiranku pun melayang ke masa silam, sewaktu ibu dan tanteku masih kecil, mereka suka naik gerbong ini dari Magelang ke Jogja seharga Rp. 65. Biarpun sesampai di Jogja mereka balik ke Magelang lagi, tetap senang. Ah, seandainya di Magelang ada kereta api, kalau malam-malam aku bosan di rumah, nggak usah repot. Tinggal ngacir ke stasiun dan jes…jes..jes… sampailah ke Jogja atau Solo.

Bangunan stasiun bergaya kolonial
Memasuki bangunan stasiun yang masih tegak berdiri, aura masa lalu benar-benar terasa. Aku temukan loket kayu pindahan dari Stasiun Demak. Ada juga mesin cetak dan mesin press tiket di mana sebelum ada printer, tiket dicetak secara manual. Berputar ke belakang, terpampang genta atau lonceng yang biasa dibunyikan kalau kereta lewat, loket besar, wesel, roda kereta dan timbangan peninggalan masa lalu. Belum cukup, di ruangan dalam stasiun ada ruang pamer dengan arsitektur kolonial yang kental. Lemari, meja dan kursi zaman dulu tertata rapi seperti halnya ruang makan zaman Belanda. Semuanya nyaris tanpa cacat, karena pemeliharaan yang intensif.
Halte Kronelan
Aku yang berniat keluar dari stasiun itu tiba-tiba melihat sebuah papan penunjuk arah dengan keterangan di antaranya “Stasiun Cicayur” dan “Stasiun Cikoya”. Hm… apakah ada stasiun lain di belakang Stasiun Ambarawa? Tapi kok, namanya berbau Jawa Barat?
Jelas hal ini nggak boleh dilewatkan! Aku langsung ikuti penunjuk arah di mana kedua stasiun itu berada. Dan benar saja, di belakang Stasiun Ambarawa berdiri beberapa gubuk kayu, yang kalau dilihat lebih dekat, mirip halte kereta api. Bukan cuma Cicayur dan Cikoya, ada juga Tekaran dan Kronelan. Wow, apakah Stasiun Ambarawa punya banyak halte?
Demi menjawab rasa penasaran, aku balik lagi ke peron dan bertanya ke bapak petugas stasiun. Ternyata, halte-halte itu sebenarnya bukan merupakan bagian dari Stasiun Ambarawa! Lho? Lalu? Halte Cicayur dan Cikoya adalah halte dari Jawa Barat, sedangkan Tekaran dan Kronelan dari Wonogiri. Konon, bangunan halte yang sudah tidak terpakai itu diangkut dengan truk dan dimuseumkan di Ambarawa ini.
Wow, rasanya sulit dibayangkan, mengangkut bangunan kayu dari Jawa Barat ke Ambarawa. Tapi ini sungguh menarik, daripada halte-halte itu merana di tempat aslinya, lebih baik dilestarikan bersama yang lain.


Salah satu lokomotif
Aku beranjak keluar, melewati dinding memorial berisi sejarah kereta api di Indonesia, mulai dari ide pembangunan kereta api di Indonesia tahun 1840 hingga revitalisasi Museum Kereta Api Ambarawa di tahun 2015. Sejumlah dinding yang masih kosong telah disiapkan untuk sejarah selanjutnya. Betapa kereta api telah jadi bagian dari sejarah Indonesia. Sejak dulu, kereta api telah menyimpan banyak cerita.

Selepas Museum Kereta, kini saatnya Monumen Palagan! Di seberang monumen tank tadi, berdirilah sebuah monumen perjuangan yang dibangun untuk memperingati peristiwa Palagan Ambarawa pada tanggal  15 Desember 1945 dimana TKR (Tentara Keamanan Rakyat) melawan pasukan Sekutu.
Setelah membeli tiket seharga Rp. 4000, aku masuk. Pertama-tama, ke Museum Isdiman di sebelah kiri monumen . Begitu masuk, aku langsung “disambut” oleh patung Letkol Isdiman, pejuang yang gugur dalam Palagan Ambarawa. Di dinding, ada foto-foto pejuang yang ikut dalam petempuran Palagan Ambarawa, salah satunya Letkol Sarwo Edhie Wibowo.

Museum Isdiman
Beberapa lemari kaca menyimpan benda-benda militer dalam pertempuran itu, yang sebagian besar milik Letkol Isdiman. Ada helm, pakaian, sepatu, senapan dan peluru. Beberapa meriam kecil juga terpajang, menunjukkan heroiknya pertempuran waktu itu.
Museum ini tidak terlalu besar, hanya terdiri dari satu ruangan saja. Yang aku sayangkan, siang itu ruangan dalam keadaan gelap karena lampu tidak dinyalakan. Sendirian di ruang seperti ini sambil membayangkan perang yang terjadi, betul-betul bikin merinding. Nggak tahu deh, gimana perasaanku kalau malam-malam di sini sendirian. Apalagi seandainya ada diaroma pertempurannya kayak di Museum Lubang Buaya….wah…

Monumen Palagan Ambarawa
Keluar dari museum, sebuah monumen terlihat menjulang. Itulah Monumen Palagan Ambarawa dengan patung tiga orang pejuang yang siap menyerang musuh, diapit dua orang sebagai komando. Sulit dilukiskan, betapa gagah berani pahlawan kita untuk mempertahankan kemerdekaan. Di sekitar monumen, terpajang dua buah meriam buatan Inggris dan Swedia. Di bagian belakang ada truk dan tank yang juga dipakai dalam pertempuran. Sejarah juga terlukis lewat replika pesawat Mustang P 51 buatan Amerika Serikat. Menurut cerita, TKR berhasil menembak pesawat Sekutu tersebut dalam pertempuran Palagan Ambarawa. Pesawat aslinya tenggelam dan terkubur di Rawa Pening. Sungguh mengagumkan, mengingat pesawat jenis tersebut paling ditakuti pada zamannya.

Gerbong tua yang sering buat selfie
Rasa merinding semakin menjadi ketika aku lihat sebuah gerbong tua. Di dinding gerbong yang sering digunakan pengunjung buat selfie ini tertulis kata-kata heroik seperti “Merdeka Ataoe Mati”, “Hantjoerkan Moesoeh Kita”, “Sekali Merdeka Tetap Merdeka”. Kata temanku, tempat ini mengandung mistis. Aku nggak percaya, tapi sekarang aku rasakan sendiri. Merinding bukan karena hantu, tapi karena membayangkan semangat juang para pahlawan.
Suasana dalam gerbong benar-benar terasa “jadul”. Kalau gerbong di Museum Kereta tadi direnovasi ulang, gerbong ini masih menyimpan bentuk aslinya. Tak ada perabot kecuali beberapa bangku kayu yang sebagian tak utuh lagi. Sayang seribu sayang, di situ banyak sampah berserakan! Oh, inilah hal yang nggak kusukai. Kenapa ya, manusia itu tidak suka kotor tapi suka mengotori?
Aku lanjutkan berjalan ke arah Pasar Ambarawa. Sempat melewati Toko Roti Pauline, bakery yang melegenda di Ambarawa. Aku nggak tahu, kapan toko roti ini berdiri. Yang jelas, menurut sumber yang kubaca, toko ini sudah diwariskan turun temurun. Semua orang sudah tahu tentang Pauline, apalagi letaknya strategis, di seberang pertigaan ke arah Bandungan. Kabarnya di sini ada roti kelapa yang enak. Tapi karena bukan penggemar roti, aku nggak mampir.
Semakin dekat ke Pasar Projo, Ambarawa, jalan semakin ramai. Dulunya, jalan ini langganan macet. Jelas aja, jalannya sempit, dua arah, buat lewat truk dan bus, dekat pasar lagi! Untungnya, sekarang udah ada jalan baru dari Ngampin ke Bawen. Cuma resikonya ya itu, penumpang bus kadang harus oper angkot buat ke pasar ini.  
Di depan Pasar Projo, aku naik bus jurusan Salatiga buat mengunjungi teman di sana. Dengan ini, berakhirlah kunjunganku kali ini.

Senin, 08 Februari 2016

Penyanyi Masa Lalu (4) : Annie Landouw

Bagi generasi sekarang, musik keroncong mungkin sudah banyak ditinggalkan. Tapi tidak demikian pada zaman kakek nenek kita dulu. Pada masa sebelum kemerdekaan RI, musik keroncong menjadi primadona bagi generasi muda.
Tersebutlah seorang penyanyi tuna netra bernama Annie Landouw. Annie terlahir dari sebuah keluarga Jawa pada tahun 1913 di Solo, Jawa Tengah. Sejak kecil, ia mengalami kebutaan. Pamannya, AFR Landouw, yang adalah orang Belanda, merasa iba dan mengangkatnya sebagai anak. Karena itulah, ia menyandang nama belakang Landouw. Berkat sang paman pulalah, Annie mempelajari musik keroncong dan kerap mengikuti perlombaan menyanyi keroncong. Keterbatasan fisik bukan halangan baginya untuk berprestasi.

Ketika memenangkan sebuah perlombaan, ia mendapat kontrak rekaman, yang kala itu masih berupa piringan hitam. Maka, sejak 1927, nama Miss Annie Landouw mulai terkenal di jagat musik keroncong. Ia seangkatan dengan Rukiah dan S. Abdullah. Bersama Rukiah pula, Annie tergabung dalam orkes keroncong "Lief Java". Karakter suaranya yang mendayu-dayu mampu membuat banyak orang tersentuh dan mengaguminya. 
Lewat naluri bermusiknya, Annie mampu menciptakan lagu "Keroncong Spesial dan “Stambul O Tuhan”, yang menceritakan tentang dirinya. Melalui Columbia Records, ia juga menghasilkan album piringan hitam bertajuk “Keroncong Pearls”. Tak hanya sebagai penyanyi, Annie juga sempat menjajal dunia akting , antara lain lewat film “Siti Akbari” dan “Fatimah”.
Annie menikah dengan Winarto dan memiliki lima orang anak. Bakat menyanyinya diturunkan kepada anak-cucunya, sehingga mereka juga pandai menyanyi, khususnya sebagai penyanyi gereja.
Annie Landouw meninggal pada tanggal 17 Agustus 1982 di usianya yang ke- 69 tahun. Saat ini mungkin tak banyak generasi muda yang mengenal namanya. Namun bagi sebagian kalangan,  ia akan selalu dikenang sebagai seniman yang luar biasa.

Link Video:
https://www.youtube.com/watch?v=Oul-2AaQeMo

Rabu, 03 Februari 2016

Lagu Masa Lalu (4) : Green Green Grass of Home



The old hometown looks the same
As I step down from the train
And there to meet me is my mama and papa
And down the road I look
And there runs Mary hair of gold and lips like cherries
It's good to touch the green, green grass of home

Yes, they've all come to meet me, arms a-reached smiling sweetly
It's so good to touch the green, green grass of home
The old house is still standing
Though the paint is cracked and dry
And there's that old oak tree that I used to play on
And down the lane I walk with my sweet Mary
Hair of gold and lips like cherries
It's good to touch the green, green grass of home

Narration:
Then I awake and look around me
At these four gray walls that surround me
And I realize that I was only dreaming
But there's a guard and there's that sad old padre
Arm in arm we'll walk at daybreak
And again I'll touch the green, green grass of home

Yes, they'll all come to see me in the shade of that old oak tree
As they lay me neath the green, green grass of home



Tom Jones
Rumput tetangga lebih hijau. Itu kata sebuah pepatah. Tapi rumput milik sendiri sulit tergantikan! Kenapa begitu? Lihat saja lirik lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi Inggris, Tom Jones. Seseorang merasa begitu bahagia saat pulang kampung. Ia disambut oleh kedua orang tuanya, bertemu adiknya yang cantik, berjalan melewati rumput hijau di sekitar rumah, melihat pohon tua yang jadi tempat bermainnya semasa kecil. Betapa indahnya. Tapi apa yang terjadi? Semua itu hanya ada dalam mimpinya. Ia kini sedang berada dalam tembok penjara!
Mungkin kita tidak akan mengalami penjara. Tapi kita yang merantau atau meningggalkan rumah dalam waktu lama pasti akan merasakan kerinduan seperti itu. Ke manapun kita pergi, rumah sendirilah yang terbaik. Itulah makna lagu country yang ngetop pada tahun 1966-1967 ini.




Link video: